Istilah Syariah dengan Awalan Huruf: 'B'

on Senin, 28 Februari 2011

1.      Burshah Auraqi Maliyah

Bursa efek (stock exchange); Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/ atau sarana untuk mempertemukan penawar jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka.

2.      Burshah

Bursa; Tempat untuk memperjualbelikan sekuritas, valuta asing, atau barang yang dilakukan secara teratur.

3.      Bunuk Ribawiyyah

Bunuk bentuk plural dari bank, sedang ribawiyyah merupakan sifat dari bank itu. Bunuk ribawiyyah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan aturan-aturan umum.

4.      Bithaqah al-Madin

Kartu debit (debit card).

5.      Bithaqah al-I'timan

Kartu kredit (credit card)

6.      Bidla'ah

Setiap produk ekonomi yang nyata baik secara langsung atau tidak langsung memberikan kontribusi dalam pemenuhan kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan manusia

7.      Barakah

Manfaat yang terus bertambah. Dalam hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shalih bin Shuhaib, ada tiga perkara yang didalamnya terdapat ke-berkah-an : jual beli dengan harga tangguh (ba'i bi tsaman ajil, muqaradhah, mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual

8.      Batil

Batal, tidak sesuai dengan syariah Islam (illegal); transaksi yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah akan menjadi batil  jika syarat dan rukunnya tidak terpenuhi serta bertentangan dengan syariah Islam

9.      Bank Tijari 'Am Islami

Bank umum syariah. Bank Umum yang secara penuh beroperasi berdasarkan prinsip syariah

10.  Bank Tijariy

Bank Komersial (commercial bank)

11.  Bank at-Tamwil as-Sya'bi al-Islami

Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran

12.  Bank Syariah

Bank Syariah : Bank yang kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah/hukum Islam, dan dikenal juga dengan bank Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)

13.  Bank Muta'amil bil 'Umlat Ajnabiyah

Bank Devisa. Bank yang melayani transaksi devisa

14.  Bank Markazi

Bank Central (central bank)

15.  Bank

Bank, badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak

16.  Baitul Mal wa Tamwil

Lembaga keuangan non pemerintah yang berfungsi menerima dan menyalurkan dana umat

17.  Baitul Mal

Lembaga negara yang mengelola penerimaan dan pengeluaran negara yang bersumber dari zakat, kharaj, jizyah, fa'i, ghanimah, kaffarat, wakaf dan lain-lain dab ditasyarufkan untuk kepentingan umat

18.  Baitul Ishdar

Lembaga yang menerbitkan efek di pasar saham

19.  Ba'i bi Tsaman Ajil

Jual beli dengan pembayaran tangguh

20.  Ba'i al Wafa

Jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba

21.  Ba'i al- 'Urbun

Jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang diserahkan kepada penjual, dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka jual beli sah. Tetapi jika pembeli tidak setuju dan barang dikembalikan, maka uang yang telah diberikan pada penjual, menjadi hibah bagi penjual, dan ini termasuk jual beli yang dilarang.

22.  Ba'i al-Sharf

Jual beli mata uang denga mata uang lainnya, termasuk emas dengan emas (money changer)

23.  Bai' as-Shahih

Jual beli yang memenuhi rukun dan syarat

24.  Bai' Salam

Jual beli barang yang diserahkan dikemudian hari sementara pembayarannya dilakukan dimuka

25.  Bai' Murabahah

Jual-beli yang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam Bai' Murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya

26.  Bai' Mu'athah

Jual beli yanpa ijab kabul yang diucapkan

27.  Bai' Istishna'

Kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang, menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayarannya, apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan dating

28.  Bai' al-Gharar

Jual beli yang mengandung tipuan; seperti jual beli benda yang tidak mungkin bisa diserahkan, jual ikan yang masih dikolam, jual buah yang masih dipohon dan belum matang, jual beli dengan melempar batu (bai' al-hashäh), dan sebagainya

29.  Bai' al-Fudhuli

Jual beli yang memberikan mandat kekuasaan kepada orang lain untuk melakukan transaksinya

30.  Bai' al-Bathil

Jual beli yang batal; yaitu apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan, seperti jual beli yang dilakukan anak-anak, orang gila atau barang-barang yang diharamkan syara', seperti bangkai, darah, babi dan khamr

31.   Bai'

Jual beli; transaksi yang mengharuskan adanya penjual (al-bai'), pembeli (al-musytary), barang (al-mabi') dan harga (tsaman)


Istilah Syariah dengan Awalan Huruf: 'A'


  
1.      Azmah Iqtishadiyah

Krisis ekonomi, periode berakhirnya suatu kemakmuran, ditandai oleh penurunan pertumbuhan ekonomi

2.      Auraq Maliyah

Sekuritas; bukti utang-piutang atau bukti kepemilikan modal yang dapat dipindah-tangankan; surat berharga tersebut dapat berupa saham istimewa atau saham biasa

3.      Aswaq kharijiyah

Pasar valuta asing (foreign exchange market); suatu pasar (market) yang mempertemukan pembelian dan penjualan mata uang asing

4.      Ashum 'Adiyah

Saham biasa; adalah saham tanpa hak istimewa

5.      Ashil

Pihak yang dijamin atau tertanggung ; suatu pihak dalam akad kafalah yang pada dasarnya mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan kepada seseorang atau pihak, namun kemudian kewajibannya itu ditanggung oleh pihak lain; ia disebut juga dengan makful 'anhu

6.      Ashl

Aktiva (asset); suatu item atau milik yang dipunyai oleh perorangan atau perusahaan yang mempunyai nilai uang

7.      Asas at-Tarakum

Asas akrual (accrual basis); sistem penentuan biaya dan pendapatan yang mengakui seluruh pendapatan dan biaya pada tahun buku tertentu meskipun realisasinya baru terjadi dalam tahun buku selanjutnya

8.      Asas as-Shunduq

Asas tunai (cash basis); pencatatan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan saat penerimaan atau pengeluaran tunai

9.      As'ar sharf mutaghayyirah

Sistem nilai tukar bebas (free floating exchange rates); sistem niali tukar berdasarkan permintaan dan penawaran pasar

10.  As'ar Islamiyyah

Harga nominal; harga yang tertera yang memberikan indikasi nilai yang digunakan dalam suatu transaksi

11.  Aradh wa Thalab

Penawaran dan permintaan (supply and demand)

12.  Aqad tijarah

Akad perdagangan; mempertukarkan barang dagangan dengan mata uang menurut cara yang ditentukan; Mempertukarkan harta dengan harta menurut cara yang telah ditentukan dan bermanfaat serta dibolehkan oleh syara'. Semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial, yaitu akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan (tijarah). Termasuk dalam akad tijarah adalah (i) akad yang mengacu pada konsep bagi hasil, diantaranya mudharabah  dan musyarakah; (ii) akad yang mengacu pada konsep jual beli , diantaranya ba'i bi tsaman ajil, murabahah , salam dan istishna'; (iii) akad yang mengacu pada konsep sewa, diantaranya ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik; (iv) akad yang mengacu pada konsep titipan, diantaranya wadi'ah yad al-amanah dan wadi'ah yad dhamanah

13.  Aqad Tabarru'

Semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan untuk tujuan komersial. Termasuk dalam akad tabarru' adalah qard al-hasan, hibah, infaq dan wakaf

14.  Aqad Shahih

Akad yang sah; akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.

15.  Aqad an-Nafidz

Akad yang sempurna untuk dilaksanakan; akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya

16.  Aqad Ghairu Shahih

Akad yang tidak shahih; akad yang terdapat kekurangan pada rukun dan syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad

17.  Aqad al-Mauquf

Akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad itu, seperti akad yang dilakukan oleh anak kecil yang telah mumayiz

18.  Aqad

Akad. secara bahas berarti ikatan (ar-ribthu), perikatan, perjanjian dan permufakatan (al-ittifaq); Dalam fiqh didefinisikan dengan irtibathu ijabin bi qabulin 'ala wajhin masyruin' yatsbutu atsaruhu fi mahallihi, yakni pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan

19.  Amwal Mustamirah Ghairu Najihah

Non Performing Financing (NPF);  persentase pembiayaan bank syariah yang tidak lancer

20.  Amwal 'Ammah

Dana pemerintah; utang pemerintah kepada masyarakat yang dihimpun dalam suatu akun untuk kepentingan negara dan kesejahteraan masyarakat

21.  Amwal

Harta, kekayaan, benda; segala sesuatu yang dapat dimiliki dan diambil manfaatnya; Allah SWT pemilik utama harta yang dimiliki manusia, sedangkan manusia selaku khalifah-Nya hanya diberi amanah untuk mengelola harta. Al-amwal juga menjadi nama kitab-nya Abu Ubaid yang kemudian hari ditiru oleh Adam Smith dengan the wealth of nation

22.  Amn Maliyah

Instrumen keuangan (financial scurity); suatu instrumen keuangan yang diterbitkan perusahaan, lembaga keuangan, dan pemerintah sebagai tujuan meminjam uang dan menghimpun modal baru. Surat-surat berharga yang biasanya dipergunakan adalah saham (share stock), surat hutang (debentures), wesel (bills of exchange), surat berharga pemerintah (treasury bills), dan obligasi (bonds). Sekali diterbitkan, surat berharga ini dapat diperjual-belikan dipasar uang (money markets) atau pasar modal (stock exchange)

23.  Amin al-'uddi

Teller: Lihat amin as-shunduq

24.  Amin as-Shunduq

1. Teller: petugas bank yang bertangung jawab menerima simpanan, mencairkan cek, dan memberikan jasa pelayanan perbankan lain kepada masyarakat. 2. Kasir (chasier); orang yang bertugas menerima dan membayar uang atas perintah yang berwenang

25.  Amin

Wali amanat; kegiatan usaha yang dilakukan untuk mewakili kepentingan pihak tertentu seperti pemegang surat berharga berdasarkan perjanjian antara bank umum dan emiten surat berharga yang bersangkutan

26.  Amilin

Pengurus zakat; orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan harta zakat sesuai dengan QS. At-Taubah ayat 60, termasuk salah satu golongan yang menerima zakat (mustahiq zakat)

27.  Amil

Pekerja, pengusaha (entrepreneur); istilah lain untuk mudharib dalam akad mudharabah; istilah ini berlaku di kalangan mazhab Syafi'i (Hijaz) yang menamakan mudharabah dengan qirad

28.  Amanah

Jujur atau bisa dipercaya; dalam bahasa Indonesia, amanah berarti kerabat, ketenteraman, atau dapat dipercaya; dan amanat berarti pesan, perintah, keterangan atau wejangan

29.  Amalat kamilah

Kesempatan kerja penuh (full employment); Penggunaan penuh dari semua sumber daya manusia yang tersedia sehingga perekonomian dapat berproduksi pada batas produk nasional bruto potensial (potential gross national product)

30.  Amaliyah Tijariyah

Transaksi : perjanjian antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan hak dan kewajiban misalnya jual-beli, dan sewa-menyewa

31.  Amaliyat Ajilah

Transaksi berjangka (forward); kontrak jual beli valuta asing yang diikuti pergerakan dana yang dilakukan pada tempat, jangka waktu, dan jumlah tertentu dengan kurs pada akhir kontrak

32.  Amal

Usaha (business), pekerjaan dan investasi; setiap usaha yang dilakukan oleh pihak mudharib atau 'amil (pekerja) dalam transaksi yang menggunakan akad mudharabah dan transaksi bagi hasil lainnya.

33.  Ajz al-Muwazanah

Defisit anggaran (budget deficit); Pengeluaran pemerintah yang lebih besar dibandingkan dengan penerimaan dalam satu tahun fiscal

34.  Adat an-Maliyah al-Islamiyah

Instrumen moneter syariah (Islamic Monetary Instruments). Instrument syariah yang digunakan untuk mempengaruhi prilaku investasi para pemilik modal atau lembaga keuangan. Misalnya; sukuk atau Surat Utang Negara (SUN) Syariah

35.  Adat as-Sahm

Instrumen saham; salah satu dari produk keuangan yang merupakan bukti kepemilikan suatu entitas

36.  Adat at-Tamwil

Instrumen keuangan; produk keuangan yang berada pada sisi pasiva sebuah entitas seperti surat hutang (promes, obligasi, saham)

37.  Adat al-Istitsmar

Instrumen investasi; produk keuangan yang berada pada sisi aktiva seperti sebuah entitas seperti surat berharga (saham, obligasi, deposito)

38.  Adat al-I'timan

Instrumen kredit; warkat perjanjian penjaminan tertulis yang dapat berisi kesanggupan bayar atau perintah bayar sebagai bukti pinjaman, instrumen kredit yang merupakan kesanggupan bayar, antara lain ialah promes dan surat aksep; alat kredit yang merupakan perintah bayar, antara lain cek, wesel, dan L/C

Muamalah Ribawi dan Bahayanya

on Minggu, 27 Februari 2011

Muqaddimah

Muamalah Maliyah adalah medan hidup yang sudah tersentuh oleh tangan-tangan manusia sejak jaman klasik, bahkan jaman purbakala. Setiap orang membutuhkan harta yang ada di tangan orang lain. Hal ini membuat manusia berusaha membuat beragam cara pertukaran, bermula dengan kebiasaan melakukan tukar menukar barang yang disebut barter, berkembang menjadi sebuah sistem jual beli yang kompleks dan multidimensional.

Bagaimana tidak, karena semua pihak yang terlibat berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, dengan karakter dan pola pemikiran yang bermacam-macam, dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang tidak sama. Baik itu pihak pembeli atau penyewa, penjual atau pemberi sewaan, yang berhutang dan berpiutang, pemberi hadiah atau yang diberi, saksi, sekretaris atau juru tulis, hingga calo atau broker, kesemuanya adalah majemuk dari berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang sosial dan pendidikannya yang variatif. Selain itu, transaksi muamalah maliyah juga semakin berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Sarana atau media dan fasilitator dalam melakukan transaksi juga kian hari kian canggih. Sementara komoditi yang diikat dalam satu transaksi juga semakin bercorak-ragam, mengikuti kebutuhan umat manusia yang semakin konsumtif dan semakin terikat tuntutan jaman yang juga kian berkembang.

Oleh sebab itu, muamalah maliyah yang sangat erat dengan perekonomian islam ini akan tampak urgensinya bila kita melihat salah satu bagiannya yaitu dunia bisnis perniagaan dan khususnya level menengah ke atas. Seorang yang memasuki dunia perbisnisan ini membutuhkan kepekaan yang tinggi, feeling yang kuat dan keterampilan yang matang serta pengetahuan yang komplit terhadap berbagai epistimologi terkait, seperti ilmu manajemen, akuntansi, perdagangan, bahkan perbankan dan sejenisnya. Atau berbagai ilmu yang secara tidak langsung juga dibutuhkan dalam dunia perniagaan modern, seperti komunikasi, informatika, operasi komputer, dan lain-lain. Itu dalam standar kebutuhan businessman (orang yang berwirausaha) secara umum.

Bagi seorang muslim, dibutuhkan syarat dan prasyaratan lebih untuk menjadi bisnisman dan pengelola modal yang berhasil. Karena seorang muslim selalu terikat –selain dengan kode etik ilmu perdagangan secara umum– dengan aturan dan syariat Islam dengan hukum-hukumnya yang komprehensif. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang muslim memasuki dunia bisnis dengan pengetahuan kosong terhadap ajaran syariat, dalam soal jual beli misalnya. Karena yang demikian itu merupakan sasaran empuk ambisi syetan pada diri manusia untuk menjerumuskan seorang muslim dalam kehinaan.

Diantara permasalahan yang sering terjadi dan menimpa kaum muslimin dalam muamalah maliyah adalah permasalahan Riba. Sehingga sudah menjadi kewajiban orang yang masuk dalam muamalah ini untuk mengetahui permasalahan ini dengan baik dan jelas.

Pengharaman Riba

Diharamkannya riba berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma’ para ulama. Bahkan bisa dikatakan keharamannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam ini.

Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari Al-Qur’an

Al-Qur’an telah membicarakan riba dalam empat tempat terpisah; salah satunya adalah Ayat Makkiyyah, sementara tiga lainnya adalah Ayat-ayat Madaniyyah.

Dalam surat Ar-Ruum Allah ta’ala berfirman:

"Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)." (QS. Ar-Ruum: 39).

Ayat tersebut tidak mengandung ketetapan hukum pasti tentang haramnya riba. Karena kala riba memang belum diharamkan. Riba baru diharamkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Al-Madinah. Hanya saja ini mempersiapkan jiwa kaum muslimin agar mampu menerima hukum haramnya riba yang terlanjur membudaya kala itu.

Dalam surat An-Nisaa, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

"Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih." (QS. An-Nisaa’: 160-161)

Ayat di atas menjelaskan diharamkannya riba terhadap orang-orang Yahudi. Ini merupakan pendahuluan yang amat gamblang, untuk kemudian baru diharamkan terhadap kalangan kaum muslimin. Ayat tersebut turun di kota Al-Madinah sebelum orang-orang Yahudi menjelaskannya.

Dalam surat Ali Imran Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. Ali Imraan: 130)

Baru kemudian turun beberapa ayat pada akhir surat Al-Baqarah, yaitu:

"Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS. Al-Baqarah: 275-279)

Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat tentang riba yang terakhir diturunkan dalam Al-Qur’an Al-Karim.

Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari As-Sunnah

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

"Hindarilah tujuh hal yang membinasakan." Ada yang bertanya: "Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa dengan cara yang haram, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh berzina wanita suci yang sudah menikah karena kelengahan mereka. "

Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan:

"Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja."

Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan: Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
"Tadi malam aku melihat dua orang lelaki, lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah yang disucikan. Kamipun berangkat sehingga sampai ke satu sungai yang berair darah. Di situ terdapat seorang lelaki sedang berdiri. Di tengah sungai terdapat seorang lelaki lain yang menaruh batu di hadapannya. Ia menghadap ke arah lelaki yang ada di sungai. Kalau lelaki di sungai itu mau keluar, ia melemparnya dengan batu sehingga terpaksa lelaki itu kembali ke dalam sungai darah. Demikianlah seterusnya setiap kali lelaki itu hendak keluar, lelaki yang di pinggir sungai melempar batu ke mulutnya sehingga ia terpaksa kembali lagi seperti semula. Aku bertanya: "Apa ini?" Salah seorang lelaki yang bersamaku menjawab: "Yang engkau lihat dalam sungai darah itu adalah pemakan riba."

Ijma’ yang Mengharamkan Riba

Kaum muslimin seluruhnya telah bersepakat bahwa asal dari riba adalah diharamkan, terutama sekali riba pinjaman atau hutang. Bahkan mereka telah berkonsensus dalam hal itu pada setiap masa dan tempat. Para ulama Ahli Fikih seluruh madzhab telah menukil ijma’ tersebut. Memang ada perbedaan pendapat tentang sebagian bentuk aplikasinya, apakah termasuk riba atau tidak dari segi praktisnya, namun tidak bertentangan dengan asal ijma’ yang telah diputuskan dalam persoalan itu.

Ijma’ akan pengharamannya dinukilkan Ibnu Hazm dalam Maratib Al Ijma’ hal 103, Ibnu Rusyd dalam Al Muqaddimah wal Mumahadah 2/8, Al Mawardi dalam Al Haawi Al Kabir 5/74, An Nawawi dalam Al Majmu’ Syarhul Muhadzab 9/391, dan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al fatawa 29/419.

Pengharaman Riba tidak terbatas hanya pada syari’at islam bahkan juga ada dalam syari’at agama sebelumnya.

Balasan Pemakan Riba

Imam Al Sarkhosi menyampaikan 5 balasan dan hukuman bagi pemakan riba yang ada dalam ayat-ayat ini (Al Baqarah: 275-279) yaitu:

1. Kesurupan, seperti dalam firman Allah ta’ala:

"Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS. Al Baqarah: 275)

2. Dihapus (Barokahnya), seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla:

"Allah memusnahkan Riba…" (QS. Al Baqarah: 276)

3. Kufur, bagi yang menghalalkannya. dijelaskan dalam firman-Nya Subhanahu wa ta’ala:

"Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." (QS. Al Baqarah: 276)

4. Kekal di Neraka. Ini ada dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

"…orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."(QS. Al Baqarah: 275)

5. Allah Ta’ala memerangi pemakan riba. Seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS. Al Baqarah: 278-279)

Bahaya dan Implikasi Buruk Riba

Syari’at islam tidak memerintahkan kepada manusia kecuali pada sesuatu yang membawa kepada kebahagian dan kemuliannya didunia dan akherat dan hanya melarang dari sesuatu yang membawa kesengsaraan dan kerugian didunia dan akherat.

Demikian juga larangan riba dikarenakan memiliki implikasi buruk dan bahaya bagi manusia, diantaranya:

1. Berbahaya bagi akhlak dan kejiwaan manusia.

Didapatkan orang yang bermuamalah ribawi adalah orang yang memiliki tabi’at bakhil, sempir, hati yang keras dan menyembah harta serta yang lain-lainnya dari sifat-sifat rendahan.

Bila melihat kepada aturan dan system riba didapatkan hal itu menyelisihi akhlak yang luhur dan menghancurkan karekteristik pembentukan masyarakat islam. System ini mencabut dari hati seseorang perasaan sayang dan rahmat terhadap saudaranya. Lihatlah kreditor (pemilik harta) senantiasa menunggu dan mencari-cari serta berharap kesusahan menimpa orang lain sehingga dapat mengambil hutang darinya. Tentunya hal ini menampakkan kekerasan, tidak adanya rasa sayang dan penyembahan terhadap harta. Hingga tampak sekali Muraabi (pemberi pinjaman ribawi) seakan-akan melepas pakaian kemanusiaannya, sikap persaudaraan dan kerja sama saling tolong menolong.

            Riba tidak akan didapatkan pada seorang yang berlomba-lomba dalam kebaikan dan infaq, shodaqah, berbuat baikpun tidak ada pada masyarakat ribawi. Hal ini karena pelaku ribawi (Muraabi) mencari celah kebutuhan manusia dan memakan harta mereka dengan batil. Ini merupakan dosa besar yang telah diperingatkan Allah dan RasulNya.

Diantara dalil adalah ayat-ayat riba selalu didahului atau diikuti dengan ayat-ayat anjuran berinfaq dan shodaqah.

2. bahaya dalam kemasyarakatan dan sosial.

Riba memiliki implikasi buruk terhadap sosial kemasyarakatan, karena masyarakat yang bermuamalah dengan riba tidak akan terjadi adanya saling bantu-membantu dan seandainya adapun karena berharap sesuatu dibaliknya sehingga kalangan orang kaya akan berlawanan dan menganiaya yang tidak punya.

Kemudian dapat menumbuhkan kedengkian dan kebencian di masing-masing individu masyarakat. Demikian juga menjadi sebab tersebarnya kejahatan dan penyakit jiwa. Hal ini disebabkan karena individu masyarakat yang bermuamalah dengan riba bermuamalah dengan sistem menang sendiri dan tidak membantu yang lainnya kecuali dengan imbalan keuntungan tertentu, sehingga kesulitan dan kesempitan orang lain menjadi kesempatan emas dan peluang bagi yang kaya untuk mengembangkan hartanya dan mengambil manfaat sesuai hitungannya. Tentunya ini akan memutus dan menghilangkan persaudaraan dan sifat gotong-royong dan menimbulkan kebencian dan permusuhan diantara mereka.

Seorang dokter ahli penyakit dalam bernama dr. Abdulaziz Ismail dalam kitabnya berjudul Islam wa al-Thib al-Hadits (Islam dan kedokteran modern) menyatakan bahwa Riba adalah sebab dalam banyaknya penyakit jantung. (Al-Riba Wa Mua’malat al-Mashrofiyah hal. 172)

3. Bahaya terhadap perekonomian.

Krisis ekonomi yang menimpa dunia ini bersumber secara umum kepada hutang-hutang riba yang berlipat-lipat pada banyak perusahaan besar dan kecil. Lalu banyak Negara modern mengetahui hal itu sehingga mereka membatasi persentase bunga ribawi. Namun hal itu tidak menghapus bahaya riba.

Sudah dimaklumi bahwa maslahat dunia ini tidak akan teratur dan baik kecuali –setelah izin Allah dengan perniagaan, keahlian, industri dan pengembangan harta dalam proyek-proyek umum yang bermanfaat, karena dengan demikian harta akan keluar dari pemiliknya dan berputar. Dengan berputarnya harta tersebut maka sejumlah umat ini dapat mengambil manfaat, sehingga terwujudlah kemakmuran. Padahal Muraabi duduk dan tidak melakukan usaha mengembangkan fungsi hartanya untuk kemanfaatan orang lain.

Riba juga menjadi sarana kolonial (penjajahan). Telah dimaklumi bahwa perang ekonomi dibangun di atas muamalah riba. Cara pembuka yang efektif untuk penjajahan yang membuat runtuh banyak Negara timur adalah dengan riba. Ketika Pemerintah Negara timur berhutang dengan riba dan membuka pintu bagi para muraabi asing maka tidak lama kemudian dalam hitungan tahun tidak terasa kekayaan mereka telah berpindah dari tangan warga Negaranya ke tangan orang-orang asing tersebut, hingga ketika pemerintah tersebut sadar dan ingin melepas diri dan hartanya, maka orang-orang asing tersebut meminta campur tangan negaranya dengan nama menjaga hak dan kepentingannya. Oleh karena itu pantaslah bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja."

Melihat bahaya dan implikasi buruk riba ini, maka sudah menjadi satu kewajiban bagi kita untuk mengetahui hakikat Riba, agar tidak terjerumus padanya.

Definisi Riba

1. Pengertian Secara Bahasa

Kata Riba berasal dari bahasa Arab yang menunjukkan pengertian "tambahan atau pertumbuhan". Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala:

"Maka (masing-masing) mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang seperti riba." (QS. Al-Haaqqah: 10), yakni siksa yang bertambah terus.

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

"kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah…" (QS. Al-Hajj: 5)

2. Pengertian Secara Istilah

Menurut terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam beberapa definisi, diantaranya:

Tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua transaktor tanpa ada imbalan tertentu.
Yang dimaksud dengan ‘tambahan’ secara definitive
·         Tambahan kuantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhl: Emas, perak, gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala komoditi yang disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama kuantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kuantitas pada salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, maka itu adalah riba yang diharamkan.

·         Tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, seperti bunga hutang.
·         Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah terima langsung. Kalau emas dijual dengan perak, atau Junaih dengan Dollar misalnya, harus ada serah terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah satu dari dua barang yang dibarter, maka itu adalah riba yang diharamkan.


Sedangkan ulama lain memberikan definisi:

"Perbedaan dalam pertukaran ribawi dengan sejenisnya dan pengakhiran serah-terima pada sesuatu yang ada serah-terimanya"
Ada juga yang menyatakan:

"Tambahan atau pengakhiran (tempo) pada harta tertentu."

Sedangkan Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu ta’ala mendefinisikannya dengan:

"Tambahan dalam jual beli dua komoditi ribawi. Tidak semua tambahan adalah riba menurut syari’at." (Syarhul Mumti’8/387)

Jenis Riba

Para ulama membagi Riba mejadi 2, yaitu:

1. Riba Jahiliyah atau Riba Al Qard (hutang),

Yaitu pertambahan dalam hutag sebagai imbalan tempo pembayaran (Ta’khir), baik disyaratkan ketika jatuh tempo pembayaran atau di awal tempo pembayaran (Al Hawafiz Al Taswiqiyah 39). Inilah riba yang pertama kali diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS. Al Baqarah: 275)

Riba inilah yang dikatakan orang jahiliyah dahulu (إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا). Riba ini juga yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam:

"Riba jahiliyah dihapus dan awal riba yang dihapus adalah riba Al Abas bin Abdil mutholib, maka sekarang seluruhnya dihapus." (HR Muslim).

Demikianlah Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya karena berisi kezaliman dan memakan harta orang lain dengan batil, karena tambahan yang diambil orang yang berpiutang dari yang berhutang tanpa imbalan.(Lihat Majmu’ fatawa 29/419, I’lam Al Muwaqi’in 1/387 dan Al Muwafaqaat 4/40)

Beberapa Bentuk Aplikasi Riba di Masa Jahiliyyah

Pada masa jahiliyyah riba memiliki beberapa bentuk aplikatif, diantaranya adalah:

Bentuk Pertama: Riba pinjaman
Yakni yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyyah: "Tangguhkanlah hutangku, aku akan menambahnya."

Misalnya, seseorang memiliki hutang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu pembayaran, orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya ia berkata: "Tangguhkanlah hutangku, aku akan memberikan tambahan." Yakni: perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan kubayar. Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang, atau (bila berupa binatang) dengan penambahan umur binatang. Kalau yang dihutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian seterusnya.

Qatadah menyatakan: "Sesungguhnya riba di masa jahiliyyah bentuknya sebagai berikut: Ada seseorang yang menjual barang untuk dibayar secara tertunda. Kalau sudah datang waktu pembayarannya, sementara orang yang berhutang itu tidak mampu membayarnya, ia menangguhkan pembayarannya dan menambah jumlahnya."

Atha’ menuturkan: "Dahulu Tsaqif pernah berhutang uang kepada Bani Al-Mughirah pada masa jahiliyyah. Ketika datang masa pembayaran, mereka berkata: "Kami akan tambahkan jumlah hutang yang akan kami bayar, tetapi tolong ditangguhkan pembayarannya." Maka turunlah firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda." (QS. Ali Imran: 130)

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam I’laamul Muwaqqi’in: "Adapun riba yang jelas adalah riba nasii-ah. Itulah riba yang dilakukan oleh masyarakat Arab di masa Jahiliyyah, seperti menangguhkan pembayaran hutang namun menambahkan jumlahnya. Setiap kali ditangguhkan, semakin bertambah jumlahnya, sehingga hutang seratus dirham menjadi beribu-ribu dirham." (Lihat I’laamul Muwaqqi’ien oleh Ibnul Qayyim 2/ 135)

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang riba yang tidak diragukan lagi unsur ribanya. Beliau menjawab: "Ada orang yang menghutangi seseorang, lalu ia berkata: "Anda mau melunasinya, atau menambahkan jumlahnya dengan ditangguhkan lagi?" Kalau orang itu tidak segera melunasinya, maka ia menangguhkan masa pembayarannya dengan menambahkan jumlahnya."

Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat harus dibayar dengan bunganya.

Hutang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.

Al-Jashash menyatakan: "Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama." (Ahkaamul Qur’aan 1/ 465) Di lain kesempatan, beliau menjelaskan: "Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyyah adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka Allah menjelaskan kebatilannya dan mengharamkannya." (Ahkaamul Qur’aan 1/ 67)

Bentuk ketiga: Pinjaman Berjangka dan Berbunga dengan Syarat Dibayar Perbulan (kredit bulanan)

Fakhruddin Ar-Razi menyatakan "Riba nasii-ah adalah kebiasaan yang sudah dikenal luas dan populer di masa jahiliyyah. Yakni bahwa mereka biasa mengeluarkan uang agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya, sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada orang-orang yang berhutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah yang harus dibayar. Inilah riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyyah." (Tafsir Ar-Raazi 4/ 92)

Ibnu Hajar Al-Haitsami menyatakan: "Riba nasii-ah adalah riba yang populer di masa jahiliyyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uangnya kepada orang lain untuk dibayar secara tertunda, dengan syarat ia mengambil sejumlah uang tertentu tiap bulannya dari orang yang berhutang sementara jumlah piutangnya tetap. Kalau tiba waktu pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang dia hutangkan. Kalau dia tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar." (Az-Zawajir ‘aiq Tiraafil Kabaa-ir 1/222)

Hikmah Diharamkannya Riba Fadhl

Hikmah diharamkannya riba fadhl tidak diketahui oleh banyak orang, karena secara zhahir jual beli ini tidak mengandung manipulasi. Karena satu hal yang logis dan aksiomatik bahwa yang jelek tidak sama dengan yang bagus, yang baik tidak sama dengan yang buruk.

Kalau satu shaa’ kurma bagus dibeli dengan dua shaa’ kurma jelek, secara logika tidak ada hal yang salah. Lalu di mana letak hikmah dari pengharaman tersebut?

Sebelum kita berupaya mencari hikmah tersebut melalui berbagai tulisan para ulama dalam persoalan ini, tidak lupa kita menyebutkan dasar fundamental yang bersifat permanen, yang tidak boleh kita lupakan dalam persoalan yang sudah rumit ini, yakni bahwa seorang muslim harus mengikuti perintah Allah Ta’ala, baik ia sudah mengetahui hikmah perintah itu maupun belum. Cukup bagi dirinya mengetahui bahwa perintah ini memang berasal dari Allah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Mengetahui, yang rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang segala firman-Nya pasti benar dan penuh keadilan.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisaa : 65)

Setelah pendahuluan ini, baru kita tegaskan: Kemungkinan penjelasan hikmah yang paling jelas tentang keharaman riba fadhl ini adalah sebagai upaya menutup jalan menuju perbuatan haram. Karena riba fadhl ini seringkali menggiring kepada riba nasiiah. Bahkan juga bisa menimbulkan bibit-bibit berkembangnya budaya riba di tengah masyarakat. Karena orang yang menjual sesuatu dengan sesuatu yang sejenis secara langsung dengan kelebihan pada salah satu yang ditukar, akan mendorongnya untuk suatu saat menjualnya dengan pembayaran tertunda, bersama bunganya.

Itulah yang disyaratkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam:

"Janganlah emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, kecuali hanya boleh dilakukan bila sama ukuran/beratnya. Jangan kalian pisahkan salah satu di antaranya, dan jangan kalian menjual yang belum ada dengan yang sudah ada. Karena aku khawatir kalian melakukan rama’. (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya III : 4, dan sanadnya shahih)

Rama’ yaitu riba. Karena kalau Allah melarang kita mengambil kelebihan dalam jual beli komoditi riba fadhl secara langsung, padahal kelebihan itu karena kwalitas, kriteria, bentuk dan sejenisnya, maka lebih layak dan lebih masuk akal lagi bila Allah melarang kelebihan yang tidak ada imbalannya, tapi hanya semata-mata penangguhan waktu.

Komoditi Ribawi

Para ulama sepakat riba berlaku pada enam jenis harta yang ada dalam hadits-hadits Nabi, yaitu: emas, perak, kurma, Asy Sya’ir (gandum), Al Burr (Gandum merah) dan garam. Sehingga tidak boleh menukar emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali dengan sama berat dan kontan (cash) di majelis akad transaksi.

Namun mereka berselisih apakah di sana ada illat (sebab pelarangan) yang menjadikannya menjadi komoditi ribawi atau tidak ada? Dalam dua pendapat:

Pertama: Riba tidak berlaku pada selain enam komoditi tersebut dan tidak ada illat yang dapat dijadikan dasar dalam menganalogikan selainnya. Inilah pendapat madzhab Azh Zhahiriyah.

Kedua: Ada illat yang menjadikannya sebagai komoditi ribawi sehingga dapat dianalogikan selainnya. Inilah pendapat mayoritas ahli fikih.

Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ahli fikih, karena syari’at secara umum tidak mungkin membedakan antara yang serupa.

Mayoritas Ahli Fikih menyetarakan dengan enam komoditi itu segala komoditi yang sama fungsinya (ilaat-nya). Namun kemudian, mereka berbeda pendapat dalam penentuan ilaah ribawi pada komoditi tersebut.

Ilaat Ribawi pada emas dan perak

Yang rojih dari pendapat para ulama tentang illat ribawi dalam emas dan perak adalah bernilainya (Ats Tsamaniyah). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pengertian ats-Tsamaniyah dengan menyatakan: Yang dimaksud di sini adalah pembicaraan tentang illat ribawi pada dinar dan dirham. Yang rojih illatnya adalah ats-Tsamaniyah bukan timbangan sebagaimana pendapat mayoritas ulama –sehingga beliau menyatakan- : penentuan illat (ta’liel) dengan ats-Tsamaniyah adalah ta’liel dengan sifat yang pas, karena maksud dari al-Atsmaan adalah untuk dijadikan standar ukuran harta benda yang mengantar kepada pengenalan ukuran harta benda bukan untuk dimanfaatkan jenisnya.

Ilaat Ribawi pada selain emas dan perak

Sedangkan pada selain emas dan perak maka illat ribawi adalah makanan pokok yang dapat disimpan (Muddakhor), yaitu menjadi makanan pokok orang dan dapat disimpan dalam waktu yang lama.(Al Fiqih Al Muyassar –Qismul Muamalat -78) Sehingga yang menjadi standar adalah keberadaannya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan. Setiap komoditi yang memiliki dua kriteria tersebut, berarti termasuk komoditi riba fadhl, dan diberlakukan segala hukum yang berkaitan dengannya.

Alasan kebenaran pendapat ini adalah sebagai berikut:

Pertama: Orang yang mengamati empat komoditi tersebut, pasti akan mendapatkan kedua kriteria ini padanya.

Kedua: Sesungguhnya tujuan dari diharamkannya riba adalah memelihara harta manusia dan menghilangkan unsur penipuan dalam jual beli mereka, maka hal itu harus dibatasi dengan hal-hal yang amat dibutuhkan oleh mereka, seperti makanan pokok yang bisa disimpan, karena keduanya adalah dasar pencarian nafkah dan tulang punggung kehidupan.

Inilah pendapat yang dirojihkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menjelaskan pendapat para ulama seputar ilaat ribawi pada enam komoditi tersebut, beliau menyatakan: "Inilah pendapat yang paling rajih dari selainnya." (Majmu’ Fatawa 29/470-471, lihat juga Taisir Al Fiqhi Al Jaami‘ Lil Ikhtiyaraat Al Fiqhiyah Lisyeikhil Islam Ibnu Taimiyah, Ahmad Muwafi, 2/1022-1025)

Dengan demikian menjual komoditi ribawi ini tidak lepas dari dua keadaan:

Barang yang dibarter (ditukar menukarkan) keduanya dari satu jenis, seperti kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, garam dengan garam, jagung dengan jagung. Maka disyaratkan dua syarat:

1. sama dalam kuantitas, inilah yang ditunjukkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam :

2. Pembayaran cash (kontan) di majelis akad. Ini ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam:

Ini berlaku juga pada jual beli emas dan perak dengan sejenisnya, sebagaimana ditunjukkan hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

"Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga." (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254)


2. Apabila komoditi ribawi yang ditukar berlainan jenis, maka tidak lepas dari dua keadaan:

Pertama: Berbeda jenis namun sama dalam ilaat ribawinya, seperti kurma dengan gandum, garam dengan gandum, -keduanya berbeda jenis namun satu ilaat-nya yaitu makanan pokok dan ditakar atau emas dengan perak -keduanya berbeda jenis, namun satu ilaat-nya yaitu bernilai tukar (Ats Tsamniyah). Maka diwajibkan padanya pembayaran cash (kontan) di majelis akad dan tidak disyaratkan kesamaan kuantitas.
Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan:

"Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.." (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254)

Dengan demikian bila berbeda jenisnya, namun satu ilaat ribawinya, maka hanya diwajibkan pembayaran cash dalam majelis akad. Inilah yang dikenal dalam kaidah riba Fadhl:

Kedua: Berbeda komoditi ribawi yang ditukar dalam jenis dan ilaat-nya, seperti emas dengan gandum atau beras dengan perak. Apabila berbeda jenis dan ilaat-nya maka tidak diwajibkan kesamaan kuantitas dan pembayaran tunai (cash). Inilah yang dimaksud kaidah:

Riba Nasii-ah (
ربا النسيئة )

Definisi Riba Nasii-ah

Nasii-ah dalam etimologi bahasa Arab bermakna Pengakhiran. Sedangkan dalam pengertian etimologi ahli fikih adalah pengakhiran serah terima pada salah satu komoditi ribawi yang satu illaat-nya pada riba fadhl atau penerimaan salah satu dari barang yang dibarter atau dijual secara tertunda dalam jual beli komoditi riba fadhl. Kalau salah satu komoditi riba fadhl dijual dengan barang riba fadhl lain, seperti emas dijual dengan perak atau sebaliknya, atau satu mata uang dijual dengan mata uang lain, dibolehkan adanya ketidaksamaan, namun tetap diharamkan penangguhan penyerahannya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:

"Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga."

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.