ULUMUL QUR'AN

on Sabtu, 01 Januari 2011

ULUMUL QUR’AN
A.    PENGERTIAN ULUMUL QUR’AN
Al-qur’an adalah kalammullah yang diturunkan kepada nabi muhammad lewat perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya.
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul Qur’an diantara lain :
·         Assuyuthi dalam kitab itmamu al-Dirayah mengatakan :

“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.

·          Al-Zarqany memberikan definisi sebagai berikut:

“Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunya, urutanya, pengumpulanya, penulisanya, bacaanya, penafsiranya, kemu’jizatanya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an.
B.     RUANG LINGKUP PEMBAHASAN ULUMUL QUR’AN
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas.
ASBABUN NUZUL
A.    PENGERTIAN ASBABUN NUZUL
Asbabun Nuzul, dalam pengertian literal bahasa verbal adalah sebab-sebab turunnya al-Qur’an. Secara historis, al-Qur’an bukanlah wahyu yang turun dalam ruang hampa, tetapi ia mempunyai latar belakang, argumentasi dan faktor-faktor tertentu yang menjadikan dia “turun” ke bumi. Hal ini karena, al-Qur’an “diturunkan” sebagai alat untuk menjawab problematika kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, kehadirnanya di alam material sangat terkait ruang dan waktu tertentu yang menjadi faktor-faktor di balik turunnya al-Qur’an.Menurut Subhi Shalih misalnya menta’rifkan (mana) sababun nuzul ialah: sesuatu yang dengan sebabnyalah turun sesuatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban tentang sebab itu, atau menerangkan hukumnya; pada masa terjadinya peristiwa itu.
Sedangkan menurut istilah adalah, sesuatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi Saw, atau sesuatu pertanyaan yang dihdapkan kepada Nabi dan turunlah suatu atau beberapa ayat dari Allah Swt yang berhubungan dengan kejadian itu, atau dengan penjawaban pertanyaan itu baik peristiwa itu merupakan pertengkaran, ataupun merupakan kesalahan yang dilakukan maupun merupakan suatu peristiwa atau suatu keinginan yang baik .
Di antara sekian banyak aspek yang banyak memberikan peran dalam menggali dan memahami makna-makna ayat al-Qur’an ialah mengetahui sebab turunnya. Oleh karena itu, mengetahui asbabun nuzul menjadi obyek perhatian para ulama. Bahkan segolongan diantara mereka ada yang mengklarifikasikan dalam suatu naskah, seperti Ali Al-Maidienie, guru besar imam Bukhari.Dari sekian banyak kitab dalam masalah ini, yang paling terkenal ialah: karangan Al-Wahidie, Ibnu Hajar dan As-Sayuthi. Dan As-Sayuthi telah menyusun dalam suatu kitab besar dengan judul Lubaabun Nuquul fie Asbabin Nuzuul.
Boleh dikata, untuk mengetahui secara mendetail tentang aneka corak ilmu-ilmu al-Quran serta pemahamannya, tidak mungkin dicapai tanpa mengetahui asbabun nuzuul Akan tetapi dengan mengetahui sebab-sebab turunnya, akan jelas pengertian ayat ini, di mana ayat ini diturunkan bagi siapa yang sedang di tengah perjalanan dan tidak tahu mana arah kiblat. Maka ia harus berijtihad dan menyelidiki, kemudian sembahyang kemana saja ia menghadap, sahlah shalatnya. Dan tidak diwajibkan kepadanya bersembahyang lagi setelah bersembahyang apabila ternyata salah.
B.     CARA MENGETAHUI ASBABUN NUZUL
Mengetahui Asbabun Nuzul adalah upaya untuk membedah antara dua hal yaitu sebab dan musababnya, atau dalam bahasanya Nasr Hamid Abu Zaid menguak dan menghubungkan antara realitas khusus (sebab) ke realitas yang menyerupainya (musabbab). Akan tetapi harus disadari bahwa transformasi dari “sabab” ke “musabab”, atau dari realitas khusus ke realitas menyerupainya, harus didasarkan pada tanda-tanda yang terdapat ada struktur teks itu sendiri.
Allah menjadikan segala sesuatu melalui sebab-musabbab dan menurut suatu ukuran. Tidak seorang pun manusia lahir dan melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab-musabbab dan berbagai tahap perkembangan. Tidak sesautu pun terjadi di dalam wujud ini kecuali setelah melewati pendahuluan dan perencanaan. Begitu juga perubahan pada cakrawala pemikiran manusia terjadi setelah melalui persiapan dan pengarahan. Itulah sunnatullah (hukum Allah) yang berlaku bagi semua ciptaan-Nya, dan engkau tidak akan menemukan perubahan pada sunnatullah (al-Ahzab, 62).
Tidak ada bukti yang menyingkap kebenaran sunnatullah itu selain sejarah, demikian pula penerapannya dalam kehidupan. Seorang sejarahwan yang berpandangan tajam dan cermat mengambil kesimpulan, dia tidak akan sampai kepada fakta sejarah jika tidak mengetahui sebab-musabbab yang mendorong terjadinya peristiwa.
Tapi tidak hanya sejarah yang menarik kesimpulan dari rentetan peristiwa yang mendahuluinya, tapi juga ilmu alam, ilmu sosial dan kesusastraan pun dalam pemahamanya memerlukan sebab-musabbab yang melahirkannya, di samping tentu saja pengetahuan tentang prinsip-prinsip serta maksud tujuan.
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah Saw atau dari sahabat. Itu disebutkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat, tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah. Al-Wahidie mengatakan,Tidak halal berpendapat mengenai asbabun Nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahasnya tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Al-Wahidie telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan. Sekarang setiap orang suka mengada-ngada dan berbuat dusta: ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan acaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turun
C.    PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG BEBERAPA RIWAYAT MENGENAI ASBABUN NUZUL
Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian, sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut: Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: Ayat ini turun mengenai urusan ini, atau Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzulnya.Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya Ayat ini turun mengenai urusan ini.
Sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang asbabun nuzul.Dari nafi disebutkan Pada suatu hari aku membaca (istri-istri adalah ibarat tempat kamu bercocok tanam), maka kata Ibnu Umar: Tahukah engkau mengenai apa ayat ini diturunkan? Aku menjawab:Tidak ia berkata ayat ini turun mengenai persoalan mendatangi istri dari belakang.Bentuk redaksi riwayat dari Ibnu Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan sebab nuzul.
Di sisi lain sebagian para ulama menjelaskan bahwa ada yang beranggapan bahwa disiplin ini tidak mempunyai kegunaan ia hanya berfungsi sebagai sejarah. Dalam hal ini ia salah, justru disiplin ini mempunyai kegunaan .
Sementara itu terdapat riwayat yang sangat tegas menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir dikatakan orang-orang Yahudi berkata: Apabila seorang laki-laki mendatangi istrinya dari arah belakang maka anaknya nanti akan bermata juling, maka turunlah ayat tersebut Maka Jabir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang asbabun nuzul. Sedangkan ucapan Ibnu Umar, tidaklah demikian. Karena itulah ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
D.    URGENSI ASBABUN NUZUL
Seperti yang dikatakan oleh ulama salaf bahwa di antara kegunaan mempelajari asbabun nuzul adalah bisa untuk mengetahui aspek hikmah yang mendorong munculnya hukum di-tasyri’kan (diundangkan); mentakhsish hukum bagi mereka yang mempunyai pendapat bahwa yang menjadi pertimbangan adalah “sebab khsus”; terkadang ada kata yang umum dan ada dalil yang berfungsi mentakhsisnya.
Pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur’an, seperti yang dijelaskan oleh Abu Mujahid , adalah oleh guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya.Ilmu Asbabun Nuzul mempunyai pengaruh yang penting dalam memahami ayat, karenanya kebanyakan ulama begitu memperhatikan ilmu tentang Asbabun Nuzul bahkan ada yang menyusunnya secara khusus. Diantara tokoh (penyusunnya) antara lain Ali Ibnu al-Madiny guru Imam al-Bukhari r.a.Kitab yang terkenal dalam hal ini adalah kitab Asbabun Nuzul karangan al-Wahidy sebagaimana halnya judul yang telah dikarang oleh Syaikhul Islam Ibnu Hajar. Sedangkan as-Sayuthy juga telah menyusun sebuah kitab Oleh karena pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur’an guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya, dapatlah kami katakan bahwa diantara ayat Al-Qur’an ada yang tidak mungkin dapat dipahami atau tidak mungkin diketahui ketentuannya/hukumnya tanpa ilmu Asbabun Nuzul.
NASIKH DAN MANSUKH
A.    PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH
Nasikh menurut bahasa artinya menghapus, dan sering diartikan memindahkan. Sedangkan menurut istilah nasikh yaitu menghapus sesuatu yang sudah tetap dalam syari’at dengan dalil yang datang kemudian.
B.     PERBEDAAN NASIKH, TAKHSHISH DAN BADA’
Disamping masalah nasikh, muncul juga isu lain, yaitu takhshia dan bada’ yang telah akrab dengan kita sewaktu mempelajari nasikh, yang dipahami secara keliru oleh kaum yahudi dan nasrani bahwa bada’ itu mustahil bagi Allah Swt. Sementara ini yang populer dan paling banyak membicarakan tentang bada’ adalah madzhab Imamiyah. Karena itu, kita melihat sebagian saudara kita, para ulama Ahlusunah, mencap saudara Imamiya mereka dengan tuduhan yang tidak baik. Mereka mencapnya sesat dan menyimpang dari pada yahudi dan nasrani yang menolak nasikh, sebab mereka menolak nasikh untuk menyucikan Allah Swt dari sifat-sifat kekurangan. Sementara Imamiyah menisbatkan bada’ kepada Allah Swt bahwa menuduh Allah itu tidak tahu dan memiliki kekurangan.
Pengertian bada’ yang dipahami oleh orang yahudi dan nasrani yaitu berkenaan dengan qudrah Allah Swt, yang juga dibantah oleh Allah dalam surat Al-Maidah ayat 64, yang artinya: “ orang-orang yahudi berkata: ‘tangan Allah terbelenggu, sebenarnya tangan mereka yang terbelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan, (tidak demikian) tetapi kedua tangan Allah itu terbuka. Dia manafkahkan sebagaimana Dia kehendaki….”
Ringkasan kesalahpahaman ini adalah bahwa kalau Allah menciptakan sesuatu dan titah-Nya berlaku atasnya, maka adalah sangat mustahil bagi Allah untuk mengubahnya lagi. Misalnya adalah, ketika Dia menciptakan hukum gravitasi bumi. Maka, Dia menjadi tidak berkuasa lagi dan tidak berdaya dengan hukum ini sehingga tidak bisa mengubah atau menghapusnya. Dan diriwayatkan oleh Imam Shadiq as, “mereka tidak menyangka kepada Allah begitu tetapi berkata bahwa Ia telah menyelesaikan tugasnya dan tidak bisa menambahi dan menguranginya”.
Sedangkan bada’ yang diyakini oleh Imamiyah adalah gagasan tentang perubahan dan penghapusan di alam raya ciptaannya, yang sesuai dengan surat Al-Maidah ayat 64 yang artinya: “tetapi kedua tangan-Nya terbuka lebar. Ia menginfaqkan apa yang Ia kehendaki, serta ayat “Allah menghapus apa yang Ia kehendaki dan menetapkan dari sisi-Nya induk segala kitab”. Gagasan ini meyakini ilmu Allah yang mengatasi segala-galanya ke masa depan dan ke masa lalu, Ia berkuasa menambahi, mengurangi dan mengubah. Allah juga maha berkuasa untuk mendahulukan atau menunda dan mengganti.
Sedangkan takhshis berarti menentukan, yakni mengeluarkan sebagian yang masuk di bawah lingkungan umum, ketika tidak ada yang menakhshis (orang yang mempergunakan takhshis).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara nasikh, takhshis dan bada’ adalah, nasikh adalah kekuasaan atau kehendak yang dimiliki oleh Allah dan hanya suatu pertentangan satu ayat dengan yang lain dalam kejelasan lafadznya, bada’ adalah kekurangan atau hal yang menentang adanya nasikh sedangkan takhshis adalah bagian dari pada nasikh yang berarti mengkhususkan sesuatu yang umum.

C.  DASAR-DASAR PENETAPAN NASIKH DAN MANSUKH
1. Syarat-Syarat Nasakh
Untuk diterima adanya nasakh diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:

o   Yang dinasakh (mansukh) itu adalah hukum syara’, yang bukan sesuatu yang zatnya memang diwajibkan.
o   Nasikh (yang menghapus) harus dalil-dalil syara’.
o   Mansukh itu tidak terikat oleh waktu yang tertentu, seperti contoh dalam surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya : “Makan dan Minumlah kamu sehingga terang / tampak olehmu benang putih dari benang hitam, ialah fajar”.
o   Nasikh harus lebih kuat dari mansukhnya atau sekurang-kurangnya sama jangan kurang dari itu, karena yang lemah tidak dapat menghapuskan yang kuat.
o   Nasikh harus munfasil (terpisah) dari mansukhnya dan datangnya terkemudian setelah mansukhnya.
o   Nasikh (yang menghapus) harus hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah.
o   Nasikh dapat diketahui benar-benar sebagai nasikh dengan mengetahui adanya penjelasan dan lafadz yang menunjukan pembatalan.
o   Adanya pertentangan antara dua dalil yang tidak bisa dikumpulkan antara dua buah dalil yang bertentangan, maka tidak ada boleh nasakh.

C.                MACAM-MACAM NASIKH DALAM AL-QUR’AN
Para ulama ushul membagi nasikh kepada beberapa macam, antara lain:
§  Yang dinasikh dalam kitab bacaannya, tetapi hukumnya tetap, misalnya dalam ayat yang artinya “orang yang sudah tua laki-laki maupun perempuan, jika berzina rajamlah keduanya tidak boleh tidak”. Ayat ini tidak ada pada bacaan, karena dihilangkan (dinasakh), tetapi hukumnya tetap, sebab sesudah itu nabi saw merajam orang yang muhshan. (hr. Bukhari dan muslim).
§  Dinasakh hukumnya, tetapi bacaannya tetap, seperti pada surat Al-Baqarah:240 yang artinya.
  “ Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya”. (QS. Al-Baqarah : 240).
Dari ayat ini dipahamkan bahwa ‘iddah wafat itu satu tahun lamanya, tetapi kemudian dinasakh dengan  ayat yang terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah: 234 yang artinya.
 “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”(QS. Al-Baqarah : 234)
§  Dinasakh bacaan beserta hukumnya bersama-sama: misalnya hadits Muslim dari Aisyah r.a yang menyatakan bahwa: “ Menurut ayat yang pernah diturunkan (dalam Al-Qur’an) sepuluh kali menyusu yang diketahui itu menjadikan haram”. “kemudian dinasakhkan dengan lima kali menyusu yang diketahui itu menjadikan haram”.
Tegasnya, dahulu pernah diturunkan bahwa sampai mengharamkan antara anak dan ibu susuan itu apabila telah sampai sepuluh kali susuan. Kemudian dinasakh dengan ayat yang menerangkan lima kali susuan sudah cukup menjadi batas bagi haramnya antara anak susuan dan ibu susuan.
§  Nasikh kitab dengan sunnah, misalnya firman Allah SWT yang terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah:180 yang artinya.
 “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…”(QS. Al-Baqarah : 180)
Kemudian dinasakh oleh hadits Nabi Saw yang artinya: “Tidak dianggap sah berwasiat untuk ahli waris”. (HR. Turmudzi dan ibn Majah).
§  Nasakh sunnah dengan sunnah, misalnya hadits Muslim yang menyatakan: “Dahulu aku telah melarang ziarah kubur, maka sekarang bolehlah engkau menziarahinya”.
Dan didalam contoh yang lain, Nabi Saw pernah berkata: “Janda yang berzinah dengan duda (dihukum) jilid 100 kali dan rajam”. Kemudian Nabi Saw pernah merajam Ma’iz dan tidak menjilidnya. Perbuatan Nabi terhadap Ma’iz ini berarti menghapus hukum yang terdapat dalam hadits yang pertama.
§  Nasakh sunnah dengan kitab, misalnya menasakh menghadap ke baitul maqdis: “Bahwasanya Nabi Saw, menghadap baitul maqdis dalam shalat enam belas bulan” (sepakat Ahli Hadits).
Dinasakh oleh Q.S. Al-Baqarah:144 yang artinya.
“Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah :144)
§  Nasakh dalam Al-Qur’an.
Memang dalam hal ini ada dua pendapat dikalangan ulama ushul, yaitu:
a) Golongan yang membenarkan adanya nasakh dalam al-qur’an
Golongan pertama yang dipelopori oleh Asy-Syafi’I, An-Nahhas, As-Sayuti dan Asy-Syaukani. Alasan-alasan golongan ini berdasarkan firman Allah yang artinya.
“Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”(QS. Al-Baqarah : 106)
Dan dalam Surat An-Nahl ayat 101 yang artinya.
“Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui”(QS. An-Nahl : 101)



b) Golongan yang menolak adanya nasakh dalam al-qur’an
Adapun golongan kedua yang menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada nasikh mansukh, mereka ialah: Abu Muslim Isfani, Al-Fakhrur Razi, Rasyid Ridla, dan Muhammad Abduh. Alasan-alasan golongan ini berdasarkan firman Allah Swt yang artinya.
“ Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya”(QS. Al-Kahfi : 27)
Menurut ayat ini, nyata tidak seorangpun dapat atau berhak merubah firman-firman Allah.