Muamalah Ribawi dan Bahayanya

on Minggu, 27 Februari 2011

Muqaddimah

Muamalah Maliyah adalah medan hidup yang sudah tersentuh oleh tangan-tangan manusia sejak jaman klasik, bahkan jaman purbakala. Setiap orang membutuhkan harta yang ada di tangan orang lain. Hal ini membuat manusia berusaha membuat beragam cara pertukaran, bermula dengan kebiasaan melakukan tukar menukar barang yang disebut barter, berkembang menjadi sebuah sistem jual beli yang kompleks dan multidimensional.

Bagaimana tidak, karena semua pihak yang terlibat berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, dengan karakter dan pola pemikiran yang bermacam-macam, dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang tidak sama. Baik itu pihak pembeli atau penyewa, penjual atau pemberi sewaan, yang berhutang dan berpiutang, pemberi hadiah atau yang diberi, saksi, sekretaris atau juru tulis, hingga calo atau broker, kesemuanya adalah majemuk dari berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang sosial dan pendidikannya yang variatif. Selain itu, transaksi muamalah maliyah juga semakin berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Sarana atau media dan fasilitator dalam melakukan transaksi juga kian hari kian canggih. Sementara komoditi yang diikat dalam satu transaksi juga semakin bercorak-ragam, mengikuti kebutuhan umat manusia yang semakin konsumtif dan semakin terikat tuntutan jaman yang juga kian berkembang.

Oleh sebab itu, muamalah maliyah yang sangat erat dengan perekonomian islam ini akan tampak urgensinya bila kita melihat salah satu bagiannya yaitu dunia bisnis perniagaan dan khususnya level menengah ke atas. Seorang yang memasuki dunia perbisnisan ini membutuhkan kepekaan yang tinggi, feeling yang kuat dan keterampilan yang matang serta pengetahuan yang komplit terhadap berbagai epistimologi terkait, seperti ilmu manajemen, akuntansi, perdagangan, bahkan perbankan dan sejenisnya. Atau berbagai ilmu yang secara tidak langsung juga dibutuhkan dalam dunia perniagaan modern, seperti komunikasi, informatika, operasi komputer, dan lain-lain. Itu dalam standar kebutuhan businessman (orang yang berwirausaha) secara umum.

Bagi seorang muslim, dibutuhkan syarat dan prasyaratan lebih untuk menjadi bisnisman dan pengelola modal yang berhasil. Karena seorang muslim selalu terikat –selain dengan kode etik ilmu perdagangan secara umum– dengan aturan dan syariat Islam dengan hukum-hukumnya yang komprehensif. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang muslim memasuki dunia bisnis dengan pengetahuan kosong terhadap ajaran syariat, dalam soal jual beli misalnya. Karena yang demikian itu merupakan sasaran empuk ambisi syetan pada diri manusia untuk menjerumuskan seorang muslim dalam kehinaan.

Diantara permasalahan yang sering terjadi dan menimpa kaum muslimin dalam muamalah maliyah adalah permasalahan Riba. Sehingga sudah menjadi kewajiban orang yang masuk dalam muamalah ini untuk mengetahui permasalahan ini dengan baik dan jelas.

Pengharaman Riba

Diharamkannya riba berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma’ para ulama. Bahkan bisa dikatakan keharamannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam ini.

Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari Al-Qur’an

Al-Qur’an telah membicarakan riba dalam empat tempat terpisah; salah satunya adalah Ayat Makkiyyah, sementara tiga lainnya adalah Ayat-ayat Madaniyyah.

Dalam surat Ar-Ruum Allah ta’ala berfirman:

"Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)." (QS. Ar-Ruum: 39).

Ayat tersebut tidak mengandung ketetapan hukum pasti tentang haramnya riba. Karena kala riba memang belum diharamkan. Riba baru diharamkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Al-Madinah. Hanya saja ini mempersiapkan jiwa kaum muslimin agar mampu menerima hukum haramnya riba yang terlanjur membudaya kala itu.

Dalam surat An-Nisaa, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

"Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih." (QS. An-Nisaa’: 160-161)

Ayat di atas menjelaskan diharamkannya riba terhadap orang-orang Yahudi. Ini merupakan pendahuluan yang amat gamblang, untuk kemudian baru diharamkan terhadap kalangan kaum muslimin. Ayat tersebut turun di kota Al-Madinah sebelum orang-orang Yahudi menjelaskannya.

Dalam surat Ali Imran Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. Ali Imraan: 130)

Baru kemudian turun beberapa ayat pada akhir surat Al-Baqarah, yaitu:

"Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS. Al-Baqarah: 275-279)

Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat tentang riba yang terakhir diturunkan dalam Al-Qur’an Al-Karim.

Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari As-Sunnah

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

"Hindarilah tujuh hal yang membinasakan." Ada yang bertanya: "Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa dengan cara yang haram, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh berzina wanita suci yang sudah menikah karena kelengahan mereka. "

Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan:

"Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja."

Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan: Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
"Tadi malam aku melihat dua orang lelaki, lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah yang disucikan. Kamipun berangkat sehingga sampai ke satu sungai yang berair darah. Di situ terdapat seorang lelaki sedang berdiri. Di tengah sungai terdapat seorang lelaki lain yang menaruh batu di hadapannya. Ia menghadap ke arah lelaki yang ada di sungai. Kalau lelaki di sungai itu mau keluar, ia melemparnya dengan batu sehingga terpaksa lelaki itu kembali ke dalam sungai darah. Demikianlah seterusnya setiap kali lelaki itu hendak keluar, lelaki yang di pinggir sungai melempar batu ke mulutnya sehingga ia terpaksa kembali lagi seperti semula. Aku bertanya: "Apa ini?" Salah seorang lelaki yang bersamaku menjawab: "Yang engkau lihat dalam sungai darah itu adalah pemakan riba."

Ijma’ yang Mengharamkan Riba

Kaum muslimin seluruhnya telah bersepakat bahwa asal dari riba adalah diharamkan, terutama sekali riba pinjaman atau hutang. Bahkan mereka telah berkonsensus dalam hal itu pada setiap masa dan tempat. Para ulama Ahli Fikih seluruh madzhab telah menukil ijma’ tersebut. Memang ada perbedaan pendapat tentang sebagian bentuk aplikasinya, apakah termasuk riba atau tidak dari segi praktisnya, namun tidak bertentangan dengan asal ijma’ yang telah diputuskan dalam persoalan itu.

Ijma’ akan pengharamannya dinukilkan Ibnu Hazm dalam Maratib Al Ijma’ hal 103, Ibnu Rusyd dalam Al Muqaddimah wal Mumahadah 2/8, Al Mawardi dalam Al Haawi Al Kabir 5/74, An Nawawi dalam Al Majmu’ Syarhul Muhadzab 9/391, dan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al fatawa 29/419.

Pengharaman Riba tidak terbatas hanya pada syari’at islam bahkan juga ada dalam syari’at agama sebelumnya.

Balasan Pemakan Riba

Imam Al Sarkhosi menyampaikan 5 balasan dan hukuman bagi pemakan riba yang ada dalam ayat-ayat ini (Al Baqarah: 275-279) yaitu:

1. Kesurupan, seperti dalam firman Allah ta’ala:

"Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS. Al Baqarah: 275)

2. Dihapus (Barokahnya), seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla:

"Allah memusnahkan Riba…" (QS. Al Baqarah: 276)

3. Kufur, bagi yang menghalalkannya. dijelaskan dalam firman-Nya Subhanahu wa ta’ala:

"Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." (QS. Al Baqarah: 276)

4. Kekal di Neraka. Ini ada dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

"…orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."(QS. Al Baqarah: 275)

5. Allah Ta’ala memerangi pemakan riba. Seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS. Al Baqarah: 278-279)

Bahaya dan Implikasi Buruk Riba

Syari’at islam tidak memerintahkan kepada manusia kecuali pada sesuatu yang membawa kepada kebahagian dan kemuliannya didunia dan akherat dan hanya melarang dari sesuatu yang membawa kesengsaraan dan kerugian didunia dan akherat.

Demikian juga larangan riba dikarenakan memiliki implikasi buruk dan bahaya bagi manusia, diantaranya:

1. Berbahaya bagi akhlak dan kejiwaan manusia.

Didapatkan orang yang bermuamalah ribawi adalah orang yang memiliki tabi’at bakhil, sempir, hati yang keras dan menyembah harta serta yang lain-lainnya dari sifat-sifat rendahan.

Bila melihat kepada aturan dan system riba didapatkan hal itu menyelisihi akhlak yang luhur dan menghancurkan karekteristik pembentukan masyarakat islam. System ini mencabut dari hati seseorang perasaan sayang dan rahmat terhadap saudaranya. Lihatlah kreditor (pemilik harta) senantiasa menunggu dan mencari-cari serta berharap kesusahan menimpa orang lain sehingga dapat mengambil hutang darinya. Tentunya hal ini menampakkan kekerasan, tidak adanya rasa sayang dan penyembahan terhadap harta. Hingga tampak sekali Muraabi (pemberi pinjaman ribawi) seakan-akan melepas pakaian kemanusiaannya, sikap persaudaraan dan kerja sama saling tolong menolong.

            Riba tidak akan didapatkan pada seorang yang berlomba-lomba dalam kebaikan dan infaq, shodaqah, berbuat baikpun tidak ada pada masyarakat ribawi. Hal ini karena pelaku ribawi (Muraabi) mencari celah kebutuhan manusia dan memakan harta mereka dengan batil. Ini merupakan dosa besar yang telah diperingatkan Allah dan RasulNya.

Diantara dalil adalah ayat-ayat riba selalu didahului atau diikuti dengan ayat-ayat anjuran berinfaq dan shodaqah.

2. bahaya dalam kemasyarakatan dan sosial.

Riba memiliki implikasi buruk terhadap sosial kemasyarakatan, karena masyarakat yang bermuamalah dengan riba tidak akan terjadi adanya saling bantu-membantu dan seandainya adapun karena berharap sesuatu dibaliknya sehingga kalangan orang kaya akan berlawanan dan menganiaya yang tidak punya.

Kemudian dapat menumbuhkan kedengkian dan kebencian di masing-masing individu masyarakat. Demikian juga menjadi sebab tersebarnya kejahatan dan penyakit jiwa. Hal ini disebabkan karena individu masyarakat yang bermuamalah dengan riba bermuamalah dengan sistem menang sendiri dan tidak membantu yang lainnya kecuali dengan imbalan keuntungan tertentu, sehingga kesulitan dan kesempitan orang lain menjadi kesempatan emas dan peluang bagi yang kaya untuk mengembangkan hartanya dan mengambil manfaat sesuai hitungannya. Tentunya ini akan memutus dan menghilangkan persaudaraan dan sifat gotong-royong dan menimbulkan kebencian dan permusuhan diantara mereka.

Seorang dokter ahli penyakit dalam bernama dr. Abdulaziz Ismail dalam kitabnya berjudul Islam wa al-Thib al-Hadits (Islam dan kedokteran modern) menyatakan bahwa Riba adalah sebab dalam banyaknya penyakit jantung. (Al-Riba Wa Mua’malat al-Mashrofiyah hal. 172)

3. Bahaya terhadap perekonomian.

Krisis ekonomi yang menimpa dunia ini bersumber secara umum kepada hutang-hutang riba yang berlipat-lipat pada banyak perusahaan besar dan kecil. Lalu banyak Negara modern mengetahui hal itu sehingga mereka membatasi persentase bunga ribawi. Namun hal itu tidak menghapus bahaya riba.

Sudah dimaklumi bahwa maslahat dunia ini tidak akan teratur dan baik kecuali –setelah izin Allah dengan perniagaan, keahlian, industri dan pengembangan harta dalam proyek-proyek umum yang bermanfaat, karena dengan demikian harta akan keluar dari pemiliknya dan berputar. Dengan berputarnya harta tersebut maka sejumlah umat ini dapat mengambil manfaat, sehingga terwujudlah kemakmuran. Padahal Muraabi duduk dan tidak melakukan usaha mengembangkan fungsi hartanya untuk kemanfaatan orang lain.

Riba juga menjadi sarana kolonial (penjajahan). Telah dimaklumi bahwa perang ekonomi dibangun di atas muamalah riba. Cara pembuka yang efektif untuk penjajahan yang membuat runtuh banyak Negara timur adalah dengan riba. Ketika Pemerintah Negara timur berhutang dengan riba dan membuka pintu bagi para muraabi asing maka tidak lama kemudian dalam hitungan tahun tidak terasa kekayaan mereka telah berpindah dari tangan warga Negaranya ke tangan orang-orang asing tersebut, hingga ketika pemerintah tersebut sadar dan ingin melepas diri dan hartanya, maka orang-orang asing tersebut meminta campur tangan negaranya dengan nama menjaga hak dan kepentingannya. Oleh karena itu pantaslah bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja."

Melihat bahaya dan implikasi buruk riba ini, maka sudah menjadi satu kewajiban bagi kita untuk mengetahui hakikat Riba, agar tidak terjerumus padanya.

Definisi Riba

1. Pengertian Secara Bahasa

Kata Riba berasal dari bahasa Arab yang menunjukkan pengertian "tambahan atau pertumbuhan". Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala:

"Maka (masing-masing) mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang seperti riba." (QS. Al-Haaqqah: 10), yakni siksa yang bertambah terus.

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

"kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah…" (QS. Al-Hajj: 5)

2. Pengertian Secara Istilah

Menurut terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam beberapa definisi, diantaranya:

Tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua transaktor tanpa ada imbalan tertentu.
Yang dimaksud dengan ‘tambahan’ secara definitive
·         Tambahan kuantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhl: Emas, perak, gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala komoditi yang disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama kuantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kuantitas pada salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, maka itu adalah riba yang diharamkan.

·         Tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, seperti bunga hutang.
·         Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah terima langsung. Kalau emas dijual dengan perak, atau Junaih dengan Dollar misalnya, harus ada serah terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah satu dari dua barang yang dibarter, maka itu adalah riba yang diharamkan.


Sedangkan ulama lain memberikan definisi:

"Perbedaan dalam pertukaran ribawi dengan sejenisnya dan pengakhiran serah-terima pada sesuatu yang ada serah-terimanya"
Ada juga yang menyatakan:

"Tambahan atau pengakhiran (tempo) pada harta tertentu."

Sedangkan Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu ta’ala mendefinisikannya dengan:

"Tambahan dalam jual beli dua komoditi ribawi. Tidak semua tambahan adalah riba menurut syari’at." (Syarhul Mumti’8/387)

Jenis Riba

Para ulama membagi Riba mejadi 2, yaitu:

1. Riba Jahiliyah atau Riba Al Qard (hutang),

Yaitu pertambahan dalam hutag sebagai imbalan tempo pembayaran (Ta’khir), baik disyaratkan ketika jatuh tempo pembayaran atau di awal tempo pembayaran (Al Hawafiz Al Taswiqiyah 39). Inilah riba yang pertama kali diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS. Al Baqarah: 275)

Riba inilah yang dikatakan orang jahiliyah dahulu (إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا). Riba ini juga yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam:

"Riba jahiliyah dihapus dan awal riba yang dihapus adalah riba Al Abas bin Abdil mutholib, maka sekarang seluruhnya dihapus." (HR Muslim).

Demikianlah Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya karena berisi kezaliman dan memakan harta orang lain dengan batil, karena tambahan yang diambil orang yang berpiutang dari yang berhutang tanpa imbalan.(Lihat Majmu’ fatawa 29/419, I’lam Al Muwaqi’in 1/387 dan Al Muwafaqaat 4/40)

Beberapa Bentuk Aplikasi Riba di Masa Jahiliyyah

Pada masa jahiliyyah riba memiliki beberapa bentuk aplikatif, diantaranya adalah:

Bentuk Pertama: Riba pinjaman
Yakni yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyyah: "Tangguhkanlah hutangku, aku akan menambahnya."

Misalnya, seseorang memiliki hutang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu pembayaran, orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya ia berkata: "Tangguhkanlah hutangku, aku akan memberikan tambahan." Yakni: perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan kubayar. Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang, atau (bila berupa binatang) dengan penambahan umur binatang. Kalau yang dihutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian seterusnya.

Qatadah menyatakan: "Sesungguhnya riba di masa jahiliyyah bentuknya sebagai berikut: Ada seseorang yang menjual barang untuk dibayar secara tertunda. Kalau sudah datang waktu pembayarannya, sementara orang yang berhutang itu tidak mampu membayarnya, ia menangguhkan pembayarannya dan menambah jumlahnya."

Atha’ menuturkan: "Dahulu Tsaqif pernah berhutang uang kepada Bani Al-Mughirah pada masa jahiliyyah. Ketika datang masa pembayaran, mereka berkata: "Kami akan tambahkan jumlah hutang yang akan kami bayar, tetapi tolong ditangguhkan pembayarannya." Maka turunlah firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda." (QS. Ali Imran: 130)

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam I’laamul Muwaqqi’in: "Adapun riba yang jelas adalah riba nasii-ah. Itulah riba yang dilakukan oleh masyarakat Arab di masa Jahiliyyah, seperti menangguhkan pembayaran hutang namun menambahkan jumlahnya. Setiap kali ditangguhkan, semakin bertambah jumlahnya, sehingga hutang seratus dirham menjadi beribu-ribu dirham." (Lihat I’laamul Muwaqqi’ien oleh Ibnul Qayyim 2/ 135)

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang riba yang tidak diragukan lagi unsur ribanya. Beliau menjawab: "Ada orang yang menghutangi seseorang, lalu ia berkata: "Anda mau melunasinya, atau menambahkan jumlahnya dengan ditangguhkan lagi?" Kalau orang itu tidak segera melunasinya, maka ia menangguhkan masa pembayarannya dengan menambahkan jumlahnya."

Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat harus dibayar dengan bunganya.

Hutang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.

Al-Jashash menyatakan: "Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama." (Ahkaamul Qur’aan 1/ 465) Di lain kesempatan, beliau menjelaskan: "Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyyah adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka Allah menjelaskan kebatilannya dan mengharamkannya." (Ahkaamul Qur’aan 1/ 67)

Bentuk ketiga: Pinjaman Berjangka dan Berbunga dengan Syarat Dibayar Perbulan (kredit bulanan)

Fakhruddin Ar-Razi menyatakan "Riba nasii-ah adalah kebiasaan yang sudah dikenal luas dan populer di masa jahiliyyah. Yakni bahwa mereka biasa mengeluarkan uang agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya, sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada orang-orang yang berhutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah yang harus dibayar. Inilah riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyyah." (Tafsir Ar-Raazi 4/ 92)

Ibnu Hajar Al-Haitsami menyatakan: "Riba nasii-ah adalah riba yang populer di masa jahiliyyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uangnya kepada orang lain untuk dibayar secara tertunda, dengan syarat ia mengambil sejumlah uang tertentu tiap bulannya dari orang yang berhutang sementara jumlah piutangnya tetap. Kalau tiba waktu pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang dia hutangkan. Kalau dia tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar." (Az-Zawajir ‘aiq Tiraafil Kabaa-ir 1/222)

Hikmah Diharamkannya Riba Fadhl

Hikmah diharamkannya riba fadhl tidak diketahui oleh banyak orang, karena secara zhahir jual beli ini tidak mengandung manipulasi. Karena satu hal yang logis dan aksiomatik bahwa yang jelek tidak sama dengan yang bagus, yang baik tidak sama dengan yang buruk.

Kalau satu shaa’ kurma bagus dibeli dengan dua shaa’ kurma jelek, secara logika tidak ada hal yang salah. Lalu di mana letak hikmah dari pengharaman tersebut?

Sebelum kita berupaya mencari hikmah tersebut melalui berbagai tulisan para ulama dalam persoalan ini, tidak lupa kita menyebutkan dasar fundamental yang bersifat permanen, yang tidak boleh kita lupakan dalam persoalan yang sudah rumit ini, yakni bahwa seorang muslim harus mengikuti perintah Allah Ta’ala, baik ia sudah mengetahui hikmah perintah itu maupun belum. Cukup bagi dirinya mengetahui bahwa perintah ini memang berasal dari Allah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Mengetahui, yang rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang segala firman-Nya pasti benar dan penuh keadilan.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisaa : 65)

Setelah pendahuluan ini, baru kita tegaskan: Kemungkinan penjelasan hikmah yang paling jelas tentang keharaman riba fadhl ini adalah sebagai upaya menutup jalan menuju perbuatan haram. Karena riba fadhl ini seringkali menggiring kepada riba nasiiah. Bahkan juga bisa menimbulkan bibit-bibit berkembangnya budaya riba di tengah masyarakat. Karena orang yang menjual sesuatu dengan sesuatu yang sejenis secara langsung dengan kelebihan pada salah satu yang ditukar, akan mendorongnya untuk suatu saat menjualnya dengan pembayaran tertunda, bersama bunganya.

Itulah yang disyaratkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam:

"Janganlah emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, kecuali hanya boleh dilakukan bila sama ukuran/beratnya. Jangan kalian pisahkan salah satu di antaranya, dan jangan kalian menjual yang belum ada dengan yang sudah ada. Karena aku khawatir kalian melakukan rama’. (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya III : 4, dan sanadnya shahih)

Rama’ yaitu riba. Karena kalau Allah melarang kita mengambil kelebihan dalam jual beli komoditi riba fadhl secara langsung, padahal kelebihan itu karena kwalitas, kriteria, bentuk dan sejenisnya, maka lebih layak dan lebih masuk akal lagi bila Allah melarang kelebihan yang tidak ada imbalannya, tapi hanya semata-mata penangguhan waktu.

Komoditi Ribawi

Para ulama sepakat riba berlaku pada enam jenis harta yang ada dalam hadits-hadits Nabi, yaitu: emas, perak, kurma, Asy Sya’ir (gandum), Al Burr (Gandum merah) dan garam. Sehingga tidak boleh menukar emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali dengan sama berat dan kontan (cash) di majelis akad transaksi.

Namun mereka berselisih apakah di sana ada illat (sebab pelarangan) yang menjadikannya menjadi komoditi ribawi atau tidak ada? Dalam dua pendapat:

Pertama: Riba tidak berlaku pada selain enam komoditi tersebut dan tidak ada illat yang dapat dijadikan dasar dalam menganalogikan selainnya. Inilah pendapat madzhab Azh Zhahiriyah.

Kedua: Ada illat yang menjadikannya sebagai komoditi ribawi sehingga dapat dianalogikan selainnya. Inilah pendapat mayoritas ahli fikih.

Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ahli fikih, karena syari’at secara umum tidak mungkin membedakan antara yang serupa.

Mayoritas Ahli Fikih menyetarakan dengan enam komoditi itu segala komoditi yang sama fungsinya (ilaat-nya). Namun kemudian, mereka berbeda pendapat dalam penentuan ilaah ribawi pada komoditi tersebut.

Ilaat Ribawi pada emas dan perak

Yang rojih dari pendapat para ulama tentang illat ribawi dalam emas dan perak adalah bernilainya (Ats Tsamaniyah). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pengertian ats-Tsamaniyah dengan menyatakan: Yang dimaksud di sini adalah pembicaraan tentang illat ribawi pada dinar dan dirham. Yang rojih illatnya adalah ats-Tsamaniyah bukan timbangan sebagaimana pendapat mayoritas ulama –sehingga beliau menyatakan- : penentuan illat (ta’liel) dengan ats-Tsamaniyah adalah ta’liel dengan sifat yang pas, karena maksud dari al-Atsmaan adalah untuk dijadikan standar ukuran harta benda yang mengantar kepada pengenalan ukuran harta benda bukan untuk dimanfaatkan jenisnya.

Ilaat Ribawi pada selain emas dan perak

Sedangkan pada selain emas dan perak maka illat ribawi adalah makanan pokok yang dapat disimpan (Muddakhor), yaitu menjadi makanan pokok orang dan dapat disimpan dalam waktu yang lama.(Al Fiqih Al Muyassar –Qismul Muamalat -78) Sehingga yang menjadi standar adalah keberadaannya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan. Setiap komoditi yang memiliki dua kriteria tersebut, berarti termasuk komoditi riba fadhl, dan diberlakukan segala hukum yang berkaitan dengannya.

Alasan kebenaran pendapat ini adalah sebagai berikut:

Pertama: Orang yang mengamati empat komoditi tersebut, pasti akan mendapatkan kedua kriteria ini padanya.

Kedua: Sesungguhnya tujuan dari diharamkannya riba adalah memelihara harta manusia dan menghilangkan unsur penipuan dalam jual beli mereka, maka hal itu harus dibatasi dengan hal-hal yang amat dibutuhkan oleh mereka, seperti makanan pokok yang bisa disimpan, karena keduanya adalah dasar pencarian nafkah dan tulang punggung kehidupan.

Inilah pendapat yang dirojihkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menjelaskan pendapat para ulama seputar ilaat ribawi pada enam komoditi tersebut, beliau menyatakan: "Inilah pendapat yang paling rajih dari selainnya." (Majmu’ Fatawa 29/470-471, lihat juga Taisir Al Fiqhi Al Jaami‘ Lil Ikhtiyaraat Al Fiqhiyah Lisyeikhil Islam Ibnu Taimiyah, Ahmad Muwafi, 2/1022-1025)

Dengan demikian menjual komoditi ribawi ini tidak lepas dari dua keadaan:

Barang yang dibarter (ditukar menukarkan) keduanya dari satu jenis, seperti kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, garam dengan garam, jagung dengan jagung. Maka disyaratkan dua syarat:

1. sama dalam kuantitas, inilah yang ditunjukkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam :

2. Pembayaran cash (kontan) di majelis akad. Ini ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam:

Ini berlaku juga pada jual beli emas dan perak dengan sejenisnya, sebagaimana ditunjukkan hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

"Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga." (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254)


2. Apabila komoditi ribawi yang ditukar berlainan jenis, maka tidak lepas dari dua keadaan:

Pertama: Berbeda jenis namun sama dalam ilaat ribawinya, seperti kurma dengan gandum, garam dengan gandum, -keduanya berbeda jenis namun satu ilaat-nya yaitu makanan pokok dan ditakar atau emas dengan perak -keduanya berbeda jenis, namun satu ilaat-nya yaitu bernilai tukar (Ats Tsamniyah). Maka diwajibkan padanya pembayaran cash (kontan) di majelis akad dan tidak disyaratkan kesamaan kuantitas.
Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan:

"Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.." (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254)

Dengan demikian bila berbeda jenisnya, namun satu ilaat ribawinya, maka hanya diwajibkan pembayaran cash dalam majelis akad. Inilah yang dikenal dalam kaidah riba Fadhl:

Kedua: Berbeda komoditi ribawi yang ditukar dalam jenis dan ilaat-nya, seperti emas dengan gandum atau beras dengan perak. Apabila berbeda jenis dan ilaat-nya maka tidak diwajibkan kesamaan kuantitas dan pembayaran tunai (cash). Inilah yang dimaksud kaidah:

Riba Nasii-ah (
ربا النسيئة )

Definisi Riba Nasii-ah

Nasii-ah dalam etimologi bahasa Arab bermakna Pengakhiran. Sedangkan dalam pengertian etimologi ahli fikih adalah pengakhiran serah terima pada salah satu komoditi ribawi yang satu illaat-nya pada riba fadhl atau penerimaan salah satu dari barang yang dibarter atau dijual secara tertunda dalam jual beli komoditi riba fadhl. Kalau salah satu komoditi riba fadhl dijual dengan barang riba fadhl lain, seperti emas dijual dengan perak atau sebaliknya, atau satu mata uang dijual dengan mata uang lain, dibolehkan adanya ketidaksamaan, namun tetap diharamkan penangguhan penyerahannya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:

"Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga."

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Gadai (Al Rahn)


Oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
 
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.

Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.

Tidak dapat dipungkiri realita yang ada, suburnya usaha-usaha pergadaian baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya gadai menggadai ini. Ironisnya banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya terjadi kedzoliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.

Dalam rubrik fiqih kali ini kita angkat permaslahan gadai (rahn) dalam tinjauan syariat, meliputi:
Definisi Al Rahn

Rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu. Dikatakan dalam bahasa Arab:
(المَاءُ الرَّاهِنُ ) apabila tidak mengalir dan kata (نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ) bermakna nikmat yang tidak putus. Ada yang menyatakan kata Rahn bermakna tertahan dengan dasar firman Allah:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya, (QS. 74:38)

Kata Rahienah bermakna tertahan. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. Ibnu Faaris menyatakan: Huruf Raa, Haa’ dan Nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini adalah kata Al Rahn yaitu sesuatu yang digadaikan.

Adapun definisi Rahn dalam istilah Syari’at, dijelaskan para ulama dengan ungkapan:
1.      Menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang untuk dilunasi dengan jaminan tersebut ketika tidak mampu melunasinya.Atau harta benda yang dijadikan jaminan hutang untuk dilunasi (hutang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut apabila tidak mampu melunasinya dari orang yang berhutang.
3.      memberikan harta sebagai jaminan hutang agar digunakan sebagai pelunasan hutang dengan harta atau nilai harta tersebut bila pihak berhutang tidak mampu melunasinya.

Sedangkan Syeikh Al Basaam mendefinisikan, Al Rahn sebagai jaminan hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya. 
Hukum Al Rahn.

Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.

Dalil Al Qur’an adalah firman Allah:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 2:283).
Dalam ayat ini walaupun ada pernyataan ‘dalam perjalanan’ namun tetap menunjukkan keumumannya, baik dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim, karena kata ‘dalam perjalanan’ dalam ayat hanya menunjukkan keadaan yang biasa membutuhkan sistem ini.

Hal inipun dipertegas dengan amalan Rasululloh yang melakukan pergadaian sebagaimana dikisahkan umul mukminin A’isyah dalam pernyataan beliau:

Sesungguhnya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam membeli dari seorang yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya. (HR Al Bukhori no 2513 dan Muslim no. 1603).

Demikian juga para ulama bersepakat menyatakan pensyariatan Al Rahn ini dalam keadaan safar (perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam Al Qurthubi menyatakan: Tidak ada seorangpun yang melarang Al Rahn pada keadaan tidak safat kecuali Mujaahid, Al Dhohak dan Daud (Al Dzohiri). Demikian juga Ibnu Hazm.

Ibnu Qudamah menyatakan: Diperbolehkan Al rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan: Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid, ia menyatakan: Al Rahn tidak ada kecuali dalam keadaan safar, karena Allah l berfirman:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).

Namun benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan adanya perbuatan Rasululloh SAW diatas dan sabda beliau:
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori ).

Setelah jelas pensyariatan Al Rahn dalam keadaan safar (perjalanan), apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim atau tidak wajib pada keseluruhannya atau wajib dalam keadaan safar saja? Para ulama berselisih dalam dua pendapat.
A.     Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah).

Berkata Ibnu Qudamah: Al Rahn tidak wajib, kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung jawaban).

Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan Al rahn dalam keadaan mukim diatas yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajibnya.

Demikian juga karena Al rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti Al Dhimaan (Jaminan oertanggungjawaban) dan Al Kitabah (penulisan perjanjian hutang) dan juga karena ini ada ketika sulit melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila Al Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya.
B.      
 Wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).

Mereka menyatakan bahawa kalimat (maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)) adalah berita bermakna perintah. Juga dengan sabda Rasululloh SAW :

Semua syarat yang tidak ada dikitabullah maka ia bathil walaupun seratus syarat. (HR Al Bukhori).
Mereka menyatakan: Pensyaratan Al Rahn dalam keadaan safar ada dalam Al Qur’an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim sehingga ia tertolak.

Pendapat ini dibantah bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya:

Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) (QS. 2:283).

Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu’amalah adalah kebolehan (mubah) hingga ada larangannya dan disini tidak ada larangannya.

Yang rojih adalah pendapat pertama, Wallahu A’lam.

Hikmah Pensyariatannya

Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang seorang disatu waktu sangat butuh kepada uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak dan tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan hutang yang disepakati kedua belah pihak atau meminjam darinya dengan ketentuan memberikan jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang hingga ia melunasi hutangnya.

Oleh karena itu Allah mensyariatkan Al Rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (Raahin), pemberi hutangan (Murtahin) dan masyarakat. Untuk Raahin ia mendapatkan keuntungan dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bias menyelamatkannya dari krisis dan menghilangkan kegundahan dihatinya serta kadang ia bias berdagang dengan modal tersebut lalu menjadi sebab ia menjadi kaya.

Sedangkan Murtahin (pihak pemberi hutang) akan menjadi tenang dan merasa aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar’I dan bila ia berniat baik maka mendapatkan pahala dari Allah.

Adapun kemaslahatan yang kembalai kepada masyarakat adalah memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaandan kasih saying diantara manusia, karena ini termasuk tolong meniolong dalam kebaikan dan takwa. Disana ada manfaat menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan melapangkan penguasa.

Rukun Al Rahn (Gadai)

Mayoritas ulama memandang rukun Al rohn (Gadai) ada empat yaitu
  1. Al Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan)
  2. Al Marhun bihi (hutang)
  3. Shighah
  4. Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin (orang yang menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang)
Sedangkan madzhab Hanafiyah memandang Al rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena ia pada hakekatnya adalah transaksi.

Syarat Al Rahn

Disyaratkan dalam Al Rahn sebagai berikut:
        I.             Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi) yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).
      II.             Syarat yang berhubungan dengan Al Marhun (barang gadai) ada dua:
1.      Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
2.      Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
3.      Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Al rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
    III.            Syarat berhubungan dengan Al Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.

Kapan Al Rahn (Gadai) menjadi keharusan?

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah Al Rahn menjadi keharusan langsung ketika transaksi ataukah setelah serah terima barang gadainya dalam dua pendapat:
1)      Serah terima adalah syarat keharusan terjadinya Al Rahn.

Ini pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah.
Dasar pendapat ini adalah firman Allah : فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ dalam ayat ini Allah mensifatkannya dengan dipegang (serah terima) dan Al rahn adalah transaksi penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga butuh kepada serah terima (Al Qabdh) seperti hutang. Juga karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka tidak diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia.

2)      Al Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi,

Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya maka dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah.

Dasar pendapat ini adalah firman Allah : فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ dalam ayat ini Allah menetapkannya sebagai Al Rahn sebelum dipegang (serah terimakan). Juga AL Rahn adalah akad transaksi yang mengharuskan adanya serah terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti jual beli. Demikian juga menurut imam Malik, serah terima hanyalah menjadi penyempurna Al rahn dan bukan syarat sahnya.

Syeikh Abdurrahman bin Hasan menyatakan: Adapun firman Allah : فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ itu adalah sifat keumumannya namun hajat menuntut (keharusannya) tidak dengan serah terima (Al Qabdh).

Prof. DR. Abdullah Al Thoyyar menyatakan bahwa yang rojih adalah Al Rahn menjadi keharusan dengan akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faedah Al Rahn berupa pelunasan hutang dengannya atau dengan nilainya ketika tidak mampu dilunasi dan ayat hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan menuntut adanya jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan mendapatkannya.

Kapan dianggap sah serah terima Al Rahn

Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tananh, maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya. Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan, bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung bila barangnya dapat dihitung serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur. Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya; ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya dan murtahin dapat mengambilnya.

Hukum-hukum setelah serah terima.

Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang, diantaranya:
1.        Pemegang barang gadai

Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).(QS. 2:283) dan sabda beliau:

Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).

2.      Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai

Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh SAW :
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).

Syeikh Al Basaam menyatakan: Menurut kesepakatan ulama bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.

Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas.

Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Tidak boleh orang lain mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, mak diperbolehkan murtahin mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasululloh:
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512).

Ini madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah mereka memandang tidak boleh murtahin mengambil manfaat barang gadai dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasululloh:
Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya. (HR Al daraquthni dan Al Hakim)

Tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan danhewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad dan inilha yang rojih Insya Allah karena hadits shohih tersebut.

Ul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan: Hadits ini dan kaedah dan ushul syari’at menunjukkan hewan gadai dihormati karena hak Allah dan pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan hutang) memiliki padanya hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya tentulah akan hilang kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (Qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin) dan hewan tersebut adalah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.
3.       
Pertumbuhan barang gadai

Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama dan bila terpisah maka terjadi perbedaan pendapat ulama disini. Abu hanifah dan imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan murtahin maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan imam Syafi’I dan ibnu Hazm dan yang menyepatinya memandang hal itu bukan ikut barang gadai dan itu milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu hazm berbeda dengan Syafi’I dalam kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya. 
4.      Perpindahan kepemilikan dan Pelunasan hutang dangan barang gadai

Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Raahin) dan tidak mampu melunasinya

Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka ia milik pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut) dan bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya.

Demikianlah barang gadai adlah milik orang yang menggadaikannya, namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk emnyelesaikan permasalah hutangnya, karena itu adalah hutang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Al Raahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin dan didahulukan murtahin daalam pembayarannya atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Malikiyah memadang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila nampak ia tidak mau melunasinya. Tidak boleh pemerintah (pengadilan) menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.

Yang rojih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang dan itu terrealisasikan dengan hal itu. Ditambah juga adanya dampak negatip social masyarakat dan lainnya pada pemenjaraan. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya maka selesailah hutang tersebut dan bila tidak dapat menutupinya maka tetap penggadai tersebut memiliki hutang sisa antara nila barang gadai dan hutangnya dan ia wajib melunasinya.

Demikianlah keindahan islam dalam permasalah gadai, tidak seperti yang banyak berlaku direalitas yang ada. Dimana pemilik piutang menyita barang gadainya walaupun nilainya lebih besar dari hutangnya bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas perbuatan kejahiliyah dan kedzoliman yang harus dihilangkan.

Pandangan Syariah Tentang Membalik Utang

Membalik Utang

Qalbu dain (membalik utang) adalah suatu hal yang haram, dengan kesepakatan ulama. Yang dimaksud dengan qalbu dain adalah menambahkan nilai utang yang menjadi tanggung jawab orang yang berutang, dengan cara apa pun.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika jatuh tempo utang sudah tiba sedangkan orang yang berutang sedang dalam kondisi kesulitan membayar utangnya, maka tidak diperbolehkan membalik utang, baik dengan transaksi tertentu atau pun tanpa transaksi, dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin. Bahkan, wajib memberi penangguhan kepadanya. Jika orang yang berutang dalam kondisi mampu melunasi utangnya, maka dia berkewajiban untuk segera melunasi utangnya. Jadi, tidak ada alasan untuk membalik utang, baik orang yang berutang itu mampu melunasi utangnya atau pun sedang dalam kondisi kesulitan.” (Majmu` Fatawa: 29/419).
Terdapat dalam Mathalib Ulin Nuha Syarh Ghayah al-Muntaha: 3/62, sebuah buku fikih Hambali, “Dan pembalikan utang diharamkan sampai batas waktu tertentu terhadap orang yang kesulitan membayar utang, dan ulama sepakat dalam hal ini. Syaikh Taqiyuddin (yaitu Ibnu Taimiyah) mengatakan, ‘Orang yang mengutangi diharamkan untuk menolak memberikan tempo, jika orang yang berutang memang dalam kondisi sulit. Jika yang mengutangi memberikan ancaman, ‘Ada dua pilihan, melakukan pembalikan utang atau kulaporkan ke pengadilan,’ lalu orang yang berutang merasa takut jika dipenjara karena dia tidak memiliki bukti bahwa dirinya sedang mengalami kesulitan finansial untuk membayar utang (padahal sebenarnya dia memang dalam kondisi sulit). Akhirnya, dia memilih untuk melakukan pembalikan utang dengan alasan ini. Meski demikian, transaksi ini tetap haram dan tidak wajib dipenuhi, dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin.
Dalam hal ini, orang yang berutang berstatus sebagai orang yang dipaksa tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Barangsiapa yang mengatakan bahwa bolehnya membalik utang dengan trik adalah pendapat salah seorang imam, maka dia telah keliru dalam pernyataannya tersebut.
Syekh as-Sa’di mengatakan, “Bentuk riba yang paling parah adalah qalbu dain, baik dengan cara terang-terangan atau pun dengan trik, karena Allah mengetahui kalau itu hanya sekadar trik. Jika jatuh tempo utang sudah tiba, maka orang yang berutang berkewajiban untuk membayar utang, jika dia mampu. Jika dia tidak mampu, maka orang yang mengutangi berkewajiban memberi penangguhan waktu pembayaran.” (Al-Fatawa as-Sa’diyyah, hlm. 353).
Qalbu dain adalah istilah yang ada dalam Mazhab Hambali, sedangkan dalam Mazhab Maliki diistilahkan dengan “faskh dain bi dain” (pembatalan utang dengan utang).
Al-Qairawani al-Maliki mengatakan, “Tidak boleh membatalkan utang dengan utang. Misalnya, ada orang yang mempunyai utang, lalu utangnya ini diganti dengan utang yang lain yang bertempo.” (Al-Fawakih ad-Dawani: 2/101)
Bahkan, di halaman yang sama, beliau mengatakan, “Faskh dain itu lebih haram lagi, karena hal itu termasuk riba jahiliah.” Lebih jauh lagi, para ulama bermazhab Maliki menilainya sebagai bentuk yang paling parah untuk jual-beli utang dengan utang, yang hukumnya haram, dan ulama sepakat tentang hal ini.” (Lihat: Al-Fawakih ad-Dawani: 2/101)

Ada dua metode yang digunakan untuk melakukan qalbu dain;
Yang pertama, dengan terang-terangan. Orang yang mengutangi berkata kepada orang yang berutang, “Ada dua pilihan, kau lunasi hari ini atau ada tambahan pembayaran.” Orang yang berutang lalu mengatakan, “Berilah aku tempo dan aku rela memberi tambahan.” Inilah riba jahiliah.
Metode kedua adalah dengan beberapa trik licik. Di sinilah para pemakan riba berkreasi. Mereka menggunakan transaksi yang sekilas tampak halal, dalam rangka melakukan qalbu dain.
Ada beberapa trik yang biasa digunakan:
Trik pertama, B memiliki utang kepada A sampai jangka waktu tertentu. Ketika telah jatuh tempo, B tidak memiliki uang untuk membayar utangnya. A lalu mengatakan, “Kuberi utang padamu untuk melunasi utangmu yang pertama.” Lalu, B menerima uang dari A untuk melunasi utangnya yang pertama kepada A. Namun, konsekuensinya ada tambahan (riba) untuk pelunasan utang kedua. Perbuatan ini termasuk riba, bahkan termasuk dalam firman Allah di surat Ali Imran: 130. Perbuatan ini termasuk perbuatan jahiliah.
Dalam riba jahiliah, saat utang telah jatuh tempo, orang yang mengutangi berkata, “Ada dua pilihan, kau lunasi sekarang juga atau ada tambahan pembayaran.” Bedanya, dalam riba jahiliah, mereka memberikan tambahan kepada utang dengan terus terang tanpa trik, sedangkan dalam perbuatan di atas terdapat penambahan riba pada utang dengan menggunakan trik. (Risalah Mudayanah, karya Ibnu Utsaimin, hlm. 14--15).
Trik kedua, B mempunyai utang kepada A. Ketika jatuh tempo tiba, A berkata kepada B, “Engkau punya dua pilihan, lunasi utangmu saat ini juga atau kau pergi ke tempat C. C akan mengutangimu. Uang yang kau terima dari C bisa kau gunakan untuk melunasi utangmu kepadaku.” Sementara itu, sudah ada kesepakatan terlebih dahulu antara A dan C, bahwa masing-masing dari keduanya akan memberi utang baru kepada orang yang terlibat utang dengan salah satu dari keduanya. Dengan utang baru tersebut, orang yang berutang bisa melunasi utang lamanya. Pada akhirnya, orang yang berutang kembali memiliki utang yang wajib dia lunasi kepada pemberi utang yang baru.
Boleh jadi pula, A berkata kepada B, “Temuilah C, mintalah pinjaman uang (utang) kepadanya.” Padahal, sudah ada kesepakatan, atau semi kesepakatan, antara A dan C, agar C memberi utang kepada B. Jika B telah melunasi utangnya kepada A, maka dilakukanlah qalbu dain, sehingga B memiliki kewajiban untuk melunasi utangnya kepada C. Inilah trik dalam qalbu dain dengan menggunakan tiga pihak (Al-Fatawa as-Sa’diyyah, hlm. 350 dan Risalah Mudayanah, hlm. 15--16). Berdasarkan definisi qalbu dain di atas, maka dalam trik ini pada utang yang kedua tentu terdapat penambahan.
Trik ketiga, Ada orang yang mempunyai utang 100 ribu ketika jatuh tempo tiba, sedangkan orang yang berutang belum memiliki uang untuk melunasi utangnya. Pemberi utang ingin memberi utang sebesar 100 ribu, agar orang yang berutang bisa melunasi utangnya yang pertama. Akan tetapi, bunga (riba) seratus ribu yang kedua lebih tinggi daripada bunga seratus ribu yang pertama. Misalnya, riba untuk seratus ribu yang pertama adalah 2 persen, maka riba untuk seratus ribu yang kedua adalah 4 persen, karena menimbang nilai seratus ribu yang kedua. Orang yang berutang menerima hal ini karena terpaksa. (Al-Fatawa as-Sa’diyyah, hlm. 352).
Trik keempat, B memiliki utang kepada A. Ketika jatuh tempo tiba dan A datang menagih utang, ternyata B tidak mampu melunasi utangnya sama sekali. Akan tetapi, B memiliki barang yang sebenarnya tidak senilai dengan utangnya. A lalu mengambil barang tersebut dan menganggapnya sebagai bentuk pelunasan utang B. Setelah itu, barang tersebut kembali dijual oleh A kepada B, dengan harga yang lebih besar daripada nilai utang B. Hal ini adalah sesuatu yang tidak boleh, karena barang yang diterima A lalu dijual kembali kepada B dinilai tidak ada fungsinya. Hakikat transaksi ini adalah pembatalan utang pertama dengan adanya utang kedua, dan utang kedua ini nilainya lebih besar. Sehingga, ini adalah riba jahiliah. (Al-Fawakih ad-Dani: 2/102)

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.