Mungkin diantara kita ada yang
sering melihat seseorang atau sebagian kerumunan oaring yang menghabiskan waktu
dengan nongkrong, merokok, bercanda ria, jalan-jalan, main game, ngobrol
kesana-sini tanpa memikirkan dampaknya, atau pula melihat seseorang yang
melamun, hanya mendengarkan musik, hanya menonton film dan lainnya. Tanpa kita
sadari aktivitas tersebut mungkin saja bagian dari aktivitas kita sehari-hari.
Hal itu adalah lumrah karena kita adalah manusia biasa, bukan Nabi atau Rasul.
Diantara aktivitas tersebut
tidak ada yang salah, karena mungkin saja sebagian orang melakukan aktivitas
tersebut adalah berupa refresing, mengisi
waktu luang untuk menghilangkan rasa stress dan sebagainya. Tapi mungkin juga
diantara kita, sering melakukan aktivitas tersebut tanpa ada alas an, yang nota
bene menjadi bagian dari aktivitas kita sehari-hari.
Kalau kita perhatikan kisah
para alim ulama dan orang-orang terkemuka sebelumnya, mereka sangat
memperhatikan waktu. Mengapa? Karena mereka begitu paham mengenai pentingnya
waktu bagi mereka. Hal ini berbeda jauh dengan kita, kita mungkin tidak sadar
begitu berharganya dan mahalnya waktu bagi kita.
Dalam suatu kesempatan Hasan
Albana pernah menyatakan; “Alwajibatu
Aktsaru minal Auqat”, bahwa
kewajiban (kita sebagai manusia) itu lebih banyak dari pada waktu yang
yang tersedia. Jika kita renungkan pernyataan tersebut, maka kontennya begitu
syarat dengan makna. Kalau kita sadar dengan kewajiban kita sebagai hamba Allah
SWT dan khalifah-Nya, maka tentunya kita tidak akan menyia-nyiakan waktu yang
telah Allah anugrahkan kepada kita semua. Kewajiban kita sebagai hamba Allah
adalah untuk senantiasa menyambahnya, beribadah kepada-Nya. Setiap waktu yang
tersedia adalah untuk mengabdi kepada-Nya. Makannya Rasul pernah bersabda, Hayatunna Kulluha ‘Ibadatun, bahwa
seluruh kehidupan kita hanyalah untuk beribadah.
Dengan demikian jika setiap
orang sadar atas kewajibannya kepada Allah SWT, maka segala aktifitas dalam
kehidupan kita ternyata lebih banyak tugas kita dari pada waktu yang tersedia.
Dari mulai kewajiban kita untuk menjalankan segala perintah Allah SWT,
bersyukur kepada-Nya, mengabdi kepada-Nya, melakukan dakwah (Amar Ma’ruf Nahyi Mungkar), mencari
nafkah untuk anak dan istri, serta masih banyak lagi kewajiban-kewajiban kita
untuk mengabdi kepada-Nya dari pada waktu yang telah disediakan oleh Allah
untuk kita semua.
Jika kita sadar bahwa
kewajiban kita itu lebih banyak dari pada waktu yang tersedia, kita akan
merasakan begitu mahalnya waktu, dan begitu pentingnya waktu. Begitu mahalnya
waktu, sehingga walaupun hanya satu detik waktu tidak akan bisa kembali. Dia
berjalan secara berkelanjutan tanpa pernah kembali. Maka dari itu salah seorang
penyair menyatakan ; Alwaqtu Ka
Adz-dzahab, waktu bagaikan emas, dalam pengertian bahwa waktu itu begitu
mahal dan penting. Jika kita membuangnya secara sia-sia tanpa diisi dengan kegiatan
yang bermakna/bermanfaat, maka kita akan sangat rugi. Mampukah kita
memanfaatkan waktu yang tersedia, sehingga kita menguasainya? Hal ini pernah
dinyatakan oleh pepatah lama bahwa “Alwaqtu
ka As-Saif, fain-lam taqtha’hu qtha’aka”, waktu itu bagaikan pedang jika
kamu tidak dapat menggunakannya maka waktu akan membunuhmu. Pernyataan tersebut
menjelaskan bahwa jika kita tidak mampu menguasai, memanfaatkan atau menundukan
waktu, maka waktu yang akan menguasai kita, yang akan membunuh kita sehingga
kita akan rugi atasnya.
Maka pantaslah Allah telah
menyindir dalam firman-Nya, “Wal Ashri” (Qs.
Al-Ash:1), demi waktu. Dalam ayat diatas kalimat wau dalam kata “Wal Ashri”
adalah wau qasam, yang berarti
sumpah. Artinya Allah telah bersumpah dengan waktu. Jika kita melanjutkan arti
dari ayat tersebut adalah bahwa Allah
telah bersumpah kepada hamba-Nya, bahwa mereka akan benar-benar rugi dengan
waktu, kecuali – kata Allah – orang-orang yang senantiasa beribadah kepada-Nya
(yaitu orang-orang yang senantiasa beriman dan beramal shaleh serta senantiasa
saling menasehati kebenaran dan kesabaran).
Imam Hadist dan ulama besar
Al-Bukhari, pernah mengikuti kajian kepada gurunya. Pada saat mengikuti kajian
ia lupa membawa pulpen/pena untuk menuliskan apa yang disampaikan oleh gurunya.
Tanpa ada penyesalan, ia membeli pulpen/pena temannya dengan harga yang sangat
tinggi. Sungguh ia menyadari betul jika ia kembali dulu untuk membawa pulpen
maka akan banyak waktu yang terbuang secara sia-sia.
Waktu yang begitu berharga
adalah waktu sekarang, bukan masa lalu yang tak akan kembali, dan bukan pula
waktu yang akan datang, karena belum tentu usia kita sampai padanya. Seorang
Filosof Barat menyatakan; “The Past is
dead, the future is imaginary, happiness can only be in the eternal now momwnt”.
Masa lalu itu sudah tidak berarti (mati), masa datang masih dalam angan-angan,
sedangkan masa sekaranglah kebahagian akan didapatkan.
Dengan demikian, marilah kita
memanfaatkan waktu sekarang dengan segala aktifitas yang bermanfaat. Niatkan
semua aktifitas kita (yang diridhai Allah) karena Allah, supaya aktifitas
tersebut menjadikan ibadah. Karena semua kehidupan kita ibadah.