URGENSI FITRAH POLITIK UNTUK 2011

on Senin, 03 Januari 2011

            Kita telah meninggalkan tahun 2010 dan memasuki tahun 2011. Dari sisi pandangan politik, hal itu berarti kita meninggalkan politik 2010 dan memasuki politik 2011. Mungkin bermakna lain lagi bila dilihat dari sisi yang berbeda. Misalnya sisi ekonomi, melihat pergantian tahun ini dapat berarti pergantian dari wajah ekonomi 2010 ke wajah 2011. Atau dari sisi hukum, pergantian tahun dapat dimaknai sebagai pergantian hiruk pikuk hokum 2011.
            Khusus dari sisi politik, dimana politik seagai salah satu aspek yang urgen dalam segala proses pengelolaan dan penggerakan dan roda Negara, pergantian tahun ini banyak disorot oleh berbagai kalangan, termasuk kalangan media massa. Diantara inti dari sorotannya tersebut bahwa 2010 sebagai tahun politik pemanasan, sementara 2011 adalah tahun pertarungan politik yang sesunggguhnya.
Politik pemanasan 2010 terkait oleh keriuhan dalam politik sepanjang tahun tersebut, seperti, seperti jual-beli isu, tukar-guling kasus politik, maneuver dan intrik-intrik poltik. Di permukaan riuh dalam politik tersebut secara kasat mata, paling tidak, terlihat pada, pertama panggung politik sandera di internal pemerintahan SBY,yang belakangan pasca tukar guling penyelesaian politik mega kasus Bank Century dikenal dengan panggung setgab (sekretariat gabungan), yang dimotori oleh partai Golkar, PAN, PKS, dan PPP.
Kedua, antara para elite penguasa pemerintahan dengan elite non-pemerintahan atau elite yang mengklaim sebagai oposisi. Sebut saja kelompok oposisi di tahun 2010 adalah PDIP, Partai Hanura, dan Gerindra. Sesuai dengan karakter oposisi, pemanasan disini banyak memepertontonkan praktek mencari-cari kesalahan penguasa pemerintahan, lalu dijadikan bargaining position untuk meneliti celah agar bias menata citra sekaligus menapaki lingkaran kekuasaan.
Da ketiga, keriuhan politik yang berlangsung antara elite politik structural, baik elite pemerintahan maupun elite non-pemerintahan, dengan elite-elite non struktural atau yang lebih popular dengan sebutan kelompok akstra parlementer dan kelompok civil society. Disini yang belakangan getol menyoroti kinerja pemerintah misalnya adalah Gerakan Indonesia Bersih.
Politik kekuasaan.
Bila mencermati semua aktivitas politik 2010 diatas Nampak politik lebih mencerminkan permainan kekuasaan balaka ketimbang fitrah politik yang sesungguhnya. Hal serupa, atau bahkan lebih, akan terjadi ketika memasuki tahun 2011. Logika sederhananya mengatakan bahwa di tahun pemanasan politik saja publik banyak disuguhi permainan kekuasaan yang penuh intrik, apalagi pada tahun pertarungan poitik yang sesungguhnya.
Politik kekuasaan 2011 akan makin memanas dipicu, pertama oleh sisa keriuhan politik 2010 yang tak terselesaikan, lalu akan mengalir deras ke tahun 2011. Dan kedua oleh agenda politik 2014 yang gong-nya ditabuh sejak 2011. Dimana publik ketahui pada tahun tersebut akan dilakukan pembahasan sekaligus penetapan paket Rancangan Undang-Undang (RUU) politik oleh DPR.
Disini nasib politik mereka, baik yang sedang maupun yang akan bertarung, dianggap sangat ditentukan. Oleh karena itu, dengan dasar kekuasaan semata tersebut, wajar mereka rentan atau berpotensi akan terjebak dan terjebak oleh cara-cara politik Machiavelian, yakni “tujuan (kekuasaan) yang manghalalkan segala cara”.
Menuju fitrah politik.
Lepas dari agenda-agenda pemicu peralihan keriuhan politik dari tahun ke tahun, khususnya 2010 ke 2011, sebanarnya realitas politik diatas bila dibiarkan akan menjadi penguat bagi persepsi yang selama ini melekat pada hampir semua kalangan masyarakat bahwa hakikat politik itu adalah kotor. Oleh karenanya disini dibutuhkan semacam rambu-rambu yang bisa menjadi ‘rem’ bagi laju politik 2011, sekaligus dapat meperbaharui persepsi negatif masyarakat umum tersebut.
Dititik inilah ajakan beberapa kalangan untuk mengembalikan politik pada fitrah yang sebenarnya menemukan momentum  dan urgensinya. Ada beberapa renungan politik yang kiranya dapat menuju atau mewujudkan fitrah politik tersebut.
Pertama, politik harus dipahami bukan sekedar berkaitan dengan prosedur kekuasaan, bagaimana ia diraih, dijalankan dan dipertahankan, melainkan juga berkaitan dengan nilai-nilai kebaikan bersama (good public). Disini politik tidak seharusnya terjebak sebagai politik kekuasaan atau permainan kekuasaan saja.
Kedua, politik, baik sebagai sebuah aktivitas atau pun ilmu pengetahuan, berkaitan erat dengan etika-etika, seperti istiqamah, adab, legawa, dasa-dasar kesetaraan. Intinya disini politik harus bedasarkan keluhuran akhlak.
Menurut Imam Al-Ghazali, keluhuran akhlak tersebut akan menjadi obat mujarab bagi katarak spiritual (akhlak buruk seperti licik, batil, zalim, dan dusta). Katarak spiritual inilah menurutnya sebagai penyebab utama kenapa politik itu cenderung kotor dan negatif.
Dan ketiga, politik sejatinya harus dipandang sebagai peruangan bukan sebagai sumber kehidupan. Celakanya selama ini politik oleh politisi acapkali dijadiakan sumber pendapatan, atau of politic dalam istilah Max Weber bukan of politic menghidupi politik, ketimbang ajang komitmen perjuangan.
Ketika politik sebagai perjuangan, bila meminjam pemikiran politik Albert Camus, berpolitik dibutuhkan pengorbanan, keterlibatan tanpa henti, dan ketabahan dalam perjuangan itu. Disini betapa elok misalnya jika seorang pengusaha, atau pun kelompok masyarakat lainnya, ketika menaiki panggung politik tidak untuk menambah kekayaan, tetapi benar-benar untuk memperjuangkan kehidupan rakyat yang berkekayaan dan berkesejahteraan. Atau dalam istilah lain mereka tidak tersandera dalam fenomena alur indrustri politik seperti Money, Power and More Money (MPM).
Akhirnya ketika segenap politisi berani menegakkan fitrah politik sebagai rule of game yang sesungguhnya, maka politik akan terjauh dari apa yang pernah dikatakan Imam Al-Gazali sebagai lahw wa la’b, permainan memabukkan yang biasa membuat orang lupa daratan.