Gadai (Al Rahn)

on Minggu, 27 Februari 2011

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
 
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.

Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.

Tidak dapat dipungkiri realita yang ada, suburnya usaha-usaha pergadaian baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya gadai menggadai ini. Ironisnya banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya terjadi kedzoliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.

Dalam rubrik fiqih kali ini kita angkat permaslahan gadai (rahn) dalam tinjauan syariat, meliputi:
Definisi Al Rahn

Rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu. Dikatakan dalam bahasa Arab:
(المَاءُ الرَّاهِنُ ) apabila tidak mengalir dan kata (نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ) bermakna nikmat yang tidak putus. Ada yang menyatakan kata Rahn bermakna tertahan dengan dasar firman Allah:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya, (QS. 74:38)

Kata Rahienah bermakna tertahan. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. Ibnu Faaris menyatakan: Huruf Raa, Haa’ dan Nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini adalah kata Al Rahn yaitu sesuatu yang digadaikan.

Adapun definisi Rahn dalam istilah Syari’at, dijelaskan para ulama dengan ungkapan:
1.      Menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang untuk dilunasi dengan jaminan tersebut ketika tidak mampu melunasinya.Atau harta benda yang dijadikan jaminan hutang untuk dilunasi (hutang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut apabila tidak mampu melunasinya dari orang yang berhutang.
3.      memberikan harta sebagai jaminan hutang agar digunakan sebagai pelunasan hutang dengan harta atau nilai harta tersebut bila pihak berhutang tidak mampu melunasinya.

Sedangkan Syeikh Al Basaam mendefinisikan, Al Rahn sebagai jaminan hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya. 
Hukum Al Rahn.

Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.

Dalil Al Qur’an adalah firman Allah:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 2:283).
Dalam ayat ini walaupun ada pernyataan ‘dalam perjalanan’ namun tetap menunjukkan keumumannya, baik dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim, karena kata ‘dalam perjalanan’ dalam ayat hanya menunjukkan keadaan yang biasa membutuhkan sistem ini.

Hal inipun dipertegas dengan amalan Rasululloh yang melakukan pergadaian sebagaimana dikisahkan umul mukminin A’isyah dalam pernyataan beliau:

Sesungguhnya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam membeli dari seorang yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya. (HR Al Bukhori no 2513 dan Muslim no. 1603).

Demikian juga para ulama bersepakat menyatakan pensyariatan Al Rahn ini dalam keadaan safar (perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam Al Qurthubi menyatakan: Tidak ada seorangpun yang melarang Al Rahn pada keadaan tidak safat kecuali Mujaahid, Al Dhohak dan Daud (Al Dzohiri). Demikian juga Ibnu Hazm.

Ibnu Qudamah menyatakan: Diperbolehkan Al rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan: Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid, ia menyatakan: Al Rahn tidak ada kecuali dalam keadaan safar, karena Allah l berfirman:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).

Namun benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan adanya perbuatan Rasululloh SAW diatas dan sabda beliau:
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori ).

Setelah jelas pensyariatan Al Rahn dalam keadaan safar (perjalanan), apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim atau tidak wajib pada keseluruhannya atau wajib dalam keadaan safar saja? Para ulama berselisih dalam dua pendapat.
A.     Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah).

Berkata Ibnu Qudamah: Al Rahn tidak wajib, kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung jawaban).

Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan Al rahn dalam keadaan mukim diatas yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajibnya.

Demikian juga karena Al rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti Al Dhimaan (Jaminan oertanggungjawaban) dan Al Kitabah (penulisan perjanjian hutang) dan juga karena ini ada ketika sulit melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila Al Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya.
B.      
 Wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).

Mereka menyatakan bahawa kalimat (maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)) adalah berita bermakna perintah. Juga dengan sabda Rasululloh SAW :

Semua syarat yang tidak ada dikitabullah maka ia bathil walaupun seratus syarat. (HR Al Bukhori).
Mereka menyatakan: Pensyaratan Al Rahn dalam keadaan safar ada dalam Al Qur’an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim sehingga ia tertolak.

Pendapat ini dibantah bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya:

Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) (QS. 2:283).

Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu’amalah adalah kebolehan (mubah) hingga ada larangannya dan disini tidak ada larangannya.

Yang rojih adalah pendapat pertama, Wallahu A’lam.

Hikmah Pensyariatannya

Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang seorang disatu waktu sangat butuh kepada uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak dan tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan hutang yang disepakati kedua belah pihak atau meminjam darinya dengan ketentuan memberikan jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang hingga ia melunasi hutangnya.

Oleh karena itu Allah mensyariatkan Al Rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (Raahin), pemberi hutangan (Murtahin) dan masyarakat. Untuk Raahin ia mendapatkan keuntungan dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bias menyelamatkannya dari krisis dan menghilangkan kegundahan dihatinya serta kadang ia bias berdagang dengan modal tersebut lalu menjadi sebab ia menjadi kaya.

Sedangkan Murtahin (pihak pemberi hutang) akan menjadi tenang dan merasa aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar’I dan bila ia berniat baik maka mendapatkan pahala dari Allah.

Adapun kemaslahatan yang kembalai kepada masyarakat adalah memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaandan kasih saying diantara manusia, karena ini termasuk tolong meniolong dalam kebaikan dan takwa. Disana ada manfaat menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan melapangkan penguasa.

Rukun Al Rahn (Gadai)

Mayoritas ulama memandang rukun Al rohn (Gadai) ada empat yaitu
  1. Al Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan)
  2. Al Marhun bihi (hutang)
  3. Shighah
  4. Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin (orang yang menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang)
Sedangkan madzhab Hanafiyah memandang Al rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena ia pada hakekatnya adalah transaksi.

Syarat Al Rahn

Disyaratkan dalam Al Rahn sebagai berikut:
        I.             Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi) yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).
      II.             Syarat yang berhubungan dengan Al Marhun (barang gadai) ada dua:
1.      Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
2.      Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
3.      Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Al rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
    III.            Syarat berhubungan dengan Al Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.

Kapan Al Rahn (Gadai) menjadi keharusan?

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah Al Rahn menjadi keharusan langsung ketika transaksi ataukah setelah serah terima barang gadainya dalam dua pendapat:
1)      Serah terima adalah syarat keharusan terjadinya Al Rahn.

Ini pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah.
Dasar pendapat ini adalah firman Allah : فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ dalam ayat ini Allah mensifatkannya dengan dipegang (serah terima) dan Al rahn adalah transaksi penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga butuh kepada serah terima (Al Qabdh) seperti hutang. Juga karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka tidak diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia.

2)      Al Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi,

Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya maka dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah.

Dasar pendapat ini adalah firman Allah : فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ dalam ayat ini Allah menetapkannya sebagai Al Rahn sebelum dipegang (serah terimakan). Juga AL Rahn adalah akad transaksi yang mengharuskan adanya serah terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti jual beli. Demikian juga menurut imam Malik, serah terima hanyalah menjadi penyempurna Al rahn dan bukan syarat sahnya.

Syeikh Abdurrahman bin Hasan menyatakan: Adapun firman Allah : فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ itu adalah sifat keumumannya namun hajat menuntut (keharusannya) tidak dengan serah terima (Al Qabdh).

Prof. DR. Abdullah Al Thoyyar menyatakan bahwa yang rojih adalah Al Rahn menjadi keharusan dengan akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faedah Al Rahn berupa pelunasan hutang dengannya atau dengan nilainya ketika tidak mampu dilunasi dan ayat hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan menuntut adanya jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan mendapatkannya.

Kapan dianggap sah serah terima Al Rahn

Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tananh, maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya. Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan, bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung bila barangnya dapat dihitung serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur. Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya; ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya dan murtahin dapat mengambilnya.

Hukum-hukum setelah serah terima.

Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang, diantaranya:
1.        Pemegang barang gadai

Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).(QS. 2:283) dan sabda beliau:

Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).

2.      Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai

Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh SAW :
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).

Syeikh Al Basaam menyatakan: Menurut kesepakatan ulama bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.

Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas.

Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Tidak boleh orang lain mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, mak diperbolehkan murtahin mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasululloh:
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512).

Ini madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah mereka memandang tidak boleh murtahin mengambil manfaat barang gadai dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasululloh:
Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya. (HR Al daraquthni dan Al Hakim)

Tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan danhewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad dan inilha yang rojih Insya Allah karena hadits shohih tersebut.

Ul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan: Hadits ini dan kaedah dan ushul syari’at menunjukkan hewan gadai dihormati karena hak Allah dan pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan hutang) memiliki padanya hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya tentulah akan hilang kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (Qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin) dan hewan tersebut adalah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.
3.       
Pertumbuhan barang gadai

Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama dan bila terpisah maka terjadi perbedaan pendapat ulama disini. Abu hanifah dan imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan murtahin maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan imam Syafi’I dan ibnu Hazm dan yang menyepatinya memandang hal itu bukan ikut barang gadai dan itu milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu hazm berbeda dengan Syafi’I dalam kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya. 
4.      Perpindahan kepemilikan dan Pelunasan hutang dangan barang gadai

Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Raahin) dan tidak mampu melunasinya

Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka ia milik pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut) dan bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya.

Demikianlah barang gadai adlah milik orang yang menggadaikannya, namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk emnyelesaikan permasalah hutangnya, karena itu adalah hutang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Al Raahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin dan didahulukan murtahin daalam pembayarannya atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Malikiyah memadang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila nampak ia tidak mau melunasinya. Tidak boleh pemerintah (pengadilan) menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.

Yang rojih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang dan itu terrealisasikan dengan hal itu. Ditambah juga adanya dampak negatip social masyarakat dan lainnya pada pemenjaraan. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya maka selesailah hutang tersebut dan bila tidak dapat menutupinya maka tetap penggadai tersebut memiliki hutang sisa antara nila barang gadai dan hutangnya dan ia wajib melunasinya.

Demikianlah keindahan islam dalam permasalah gadai, tidak seperti yang banyak berlaku direalitas yang ada. Dimana pemilik piutang menyita barang gadainya walaupun nilainya lebih besar dari hutangnya bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas perbuatan kejahiliyah dan kedzoliman yang harus dihilangkan.

0 komentar :